Kawin Tangkap di NTT: Kekerasan Berkedok Adat yang Harus Dihentikan
Praktik kawin tangkap yang masih terjadi di beberapa wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi sorotan serius di tengah upaya perlindungan hak asasi manusia. Tradisi yang melibatkan penculikan dan pemaksaan pernikahan ini dinilai telah menyimpang dari nilai-nilai luhur adat dan berubah menjadi bentuk kekerasan seksual terselubung.
Berikut fakta-fakta terkini mengenai fenomena ini:
- Modus Operandi: Pelaku biasanya menculik perempuan muda, kemudian memaksa keluarga korban menyetujui pernikahan dengan berbagai tekanan, termasuk ancaman kekerasan
- Dampak Psikologis: Korban sering mengalami trauma berkepanjangan, gangguan kecemasan, hingga depresi klinis
- Langkah Hukum: Indonesia telah memiliki UU TPKS No. 12/2022 yang bisa menjerat pelaku dengan hukuman pidana berat
Dilema antara pelestarian budaya dan perlindungan HAM menjadi tantangan kompleks dalam menangani kasus ini. Meski berakar pada tradisi, praktik ini jelas bertentangan dengan:
- Prinsip kesetaraan gender
- Hak menentukan pasangan hidup
- Perlindungan dari kekerasan seksual
Upaya penyelesaian memerlukan pendekatan multidimensi:
- Edukasi masyarakat tentang batasan antara tradisi dan pelanggaran HAM
- Sinkronisasi hukum adat dengan peraturan nasional dan internasional
- Pemberdayaan perempuan dalam struktur pengambilan keputusan adat
Pemerintah daerah dan tokoh adat mulai menunjukkan komitmen untuk mereformasi praktik ini, meski perubahan masih berjalan lambat. Perlindungan korban dan penegakan hukum menjadi kunci utama dalam memutus mata rantai kekerasan berbasis gender ini.