Konflik Lahan Urban Farming di Tanjung Priok Picu Ketegangan Warga dan PT KAI
Jakarta – Ketegangan muncul antara warga RW 11 Kampung Muara Bahari, Tanjung Priok, dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) menyusul pemagaran lahan yang selama ini digunakan untuk urban farming. Lahan seluas 1.200 meter persegi tersebut telah menjadi sumber penghidupan warga sekaligus bagian dari upaya mendukung ketahanan pangan nasional. Namun, rencana PT KAI untuk membangun kantor di lokasi tersebut memicu protes dari masyarakat setempat.
Menurut Supradi, Ketua RW 11 Kampung Muara Bahari, warga telah berulang kali melakukan musyawarah dengan pihak PT KAI, pemerintah setempat, serta aparat keamanan. Namun, hingga kini belum ada titik temu yang disepakati. "Kami mendukung pembangunan, tetapi kami juga meminta kebijakan yang adil," tegas Supradi. Ia menambahkan, pemagaran yang dilakukan PT KAI telah membatasi akses warga untuk bercocok tanam di lahan tersebut.
Berikut beberapa poin penting dalam konflik ini: - Status Lahan: PT KAI mengklaim lahan tersebut sebagai aset perusahaan yang akan digunakan untuk pembangunan Kantor Resort Jalan Rel dan Jembatan Tanjung Priok. - Dampak pada Warga: Pemagaran mengganggu aktivitas urban farming yang telah berjalan selama bertahun-tahun. - Proses Sosialisasi: PT KAI menyatakan telah melakukan sosialisasi pada Januari dan Februari 2025, melibatkan berbagai pihak, termasuk tokoh masyarakat dan aparat setempat.
Ixfan Hendriwintoko, Manager Humas Daop 1 Jakarta, menegaskan bahwa pemagaran dilakukan untuk mengamankan aset perusahaan. "Langkah ini diperlukan agar lahan tidak disalahgunakan," ujarnya. Namun, warga menilai langkah tersebut justru mengabaikan kepentingan masyarakat yang telah mengelola lahan tersebut secara produktif.