Dampak Radikalisme Gender pada Perilaku Kriminal Remaja Laki-laki

Serial "Adolescence" yang tayang di Netflix mengangkat isu serius tentang pengaruh konten radikalisme gender terhadap remaja laki-laki. Dalam serial tersebut, seorang remaja bernama Jamie melakukan pembunuhan terhadap teman sekolahnya setelah terpapar ideologi ekstrem terkait gender. Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana paparan konten radikal dapat memicu tindakan kriminal.

Menurut psikolog klinis anak dan remaja, Lydia Agnes Gultom, M.Psi., dampak paparan radikalisme gender tidak langsung muncul dalam bentuk tindakan kriminal. Prosesnya terjadi secara bertahap, dimulai dari perubahan pandangan dan sikap, kemudian berkembang menjadi perilaku yang lebih ekstrem. "Remaja mungkin mulai dengan pikiran yang merendahkan perempuan, lalu berlanjut ke tindakan seperti bullying atau candaan seksis," jelas Agnes.

Radikalisme gender sendiri merupakan ideologi ekstrem yang seringkali melibatkan konsep maskulinitas toksik dan misogini. Remaja yang terpapar ideologi ini cenderung memiliki pandangan fanatik tentang gender dan seringkali menyalahkan perempuan atas masalah yang mereka alami. Salah satu kelompok yang sering dikaitkan dengan radikalisme gender adalah incel (involuntary celibate), yang merasa berhak atas hubungan romantis dan seksual tetapi tidak mendapatkannya.

Tahapan Eskalasi Perilaku

Agnes menjelaskan bahwa perubahan perilaku akibat paparan radikalisme gender terjadi dalam beberapa tahap:

  1. Perubahan Pandangan: Remaja mulai mengadopsi pandangan yang merendahkan perempuan.
  2. Perilaku Verbal: Mulai mengucapkan kata-kata kasar atau candaan seksis terhadap perempuan.
  3. Bullying: Melakukan tindakan merundung, baik secara langsung maupun tidak langsung.
  4. Penolakan Sosial: Menolak interaksi dengan perempuan dalam berbagai konteks, seperti menolak diajar oleh guru perempuan.
  5. Kekerasan Fisik: Tindakan ekstrem seperti pemukulan atau bahkan pembunuhan.

"Gradasi dampak ini tergantung pada seberapa dalam ideologi tersebut diinternalisasi dan bagaimana individu mengeksekusi pikiran mereka ke dalam tindakan," tambah Agnes. Untuk mencegah hal ini, orangtua disarankan untuk menjadi tempat yang aman bagi anak untuk berdiskusi tentang berbagai isu, termasuk yang mereka temui di media sosial.