Skandal Suap Ratusan Miliar Rupiah Menggerogoti Lembaga Peradilan Indonesia: 29 Hakim Diduga Terlibat dalam Jual Beli Putusan
Praktik Korupsi di Lingkungan Peradilan: Fenomena 'Naluri Dagang' Hakim Terungkap
Kasus korupsi di lingkungan peradilan Indonesia kembali mencuat ke permukaan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan, sebanyak 29 hakim telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi sejak tahun 2011 hingga 2024. Para hakim tersebut diduga kuat menerima suap dengan total mencapai Rp 107.999.281.345, dengan imbalan mengatur hasil putusan perkara yang mereka tangani.
Pada awal tahun 2025, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan empat hakim sebagai tersangka dalam kasus suap terkait penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO). Keempat hakim tersebut adalah Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom, keduanya merupakan hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, serta Djuyamto, seorang hakim PN Jakarta Selatan. Selain itu, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, juga ditetapkan sebagai tersangka karena diduga memberikan suap kepada Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto.
ICW menilai bahwa terungkapnya kasus ini mengindikasikan adanya masalah serius dalam tata kelola internal di Mahkamah Agung (MA). Mereka mendesak MA untuk mengakui bahwa praktik mafia peradilan merupakan masalah laten yang harus segera diberantas. ICW menyarankan agar MA menggandeng Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan elemen masyarakat sipil untuk memetakan potensi korupsi di lembaga pengadilan. Selain itu, ICW juga menekankan pentingnya memperketat mekanisme pengawasan terhadap kinerja hakim dan syarat penerimaan hakim untuk menutup celah terjadinya korupsi.
Anggota Komisi III DPR, Hinca Panjaitan, menanggapi kasus ini dengan menyatakan bahwa penetapan empat hakim sebagai tersangka kasus suap penanganan perkara ekspor CPO menunjukkan bahwa banyak hakim yang memiliki "naluri berdagang." Ia menilai bahwa hakim saat ini cenderung melihat keadilan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan.
"Pada realitasnya banyak hakim yang berkompromi dengan naluri dagang. Akhirnya, keadilan jadi komoditas, seolah bisa dijual dan dibeli. Menurut saya, suap terjadi karena pelaku melihat manfaat ekonomi yang melebihi risiko," ujar Hinca.
Hinca menambahkan bahwa suap terhadap hakim dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu kekosongan moralitas atau longgarnya pengawasan. Ia juga menanggapi wacana kenaikan gaji hakim sebagai upaya pencegahan suap. Menurutnya, praktik suap tetap dapat terjadi di lingkungan peradilan, terlepas dari besaran gaji hakim.
"Maka godaan suap akan tetap menemukan jalannya. Kita bisa menambah angka pendapatan setinggi langit, tetapi bila peluang lolos dari hukuman lebih menggoda, akhirnya transaksi hitam menjadi pilihan rasional," kata Hinca.
Skandal suap ini menjadi tamparan keras bagi citra lembaga peradilan Indonesia. Upaya pembenahan dan reformasi harus dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia.