Kasus Dugaan Eksploitasi Pemain Sirkus Oriental Circus Indonesia: Rekomendasi Komnas HAM Tahun 1997 Tak Digubris

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan bahwa rekomendasi yang pernah mereka keluarkan pada tahun 1997 terkait dugaan eksploitasi pemain sirkus di Oriental Circus Indonesia (OCI) tidak membuahkan hasil yang signifikan. Pengakuan ini muncul di tengah mencuatnya kembali kasus tersebut ke permukaan.

Uli Parulian Sihombing, Komisioner Komnas HAM, menjelaskan bahwa 28 tahun silam, para mantan pemain sirkus telah mengadukan pelanggaran hak asasi yang mereka alami kepada Komnas HAM. Menindaklanjuti pengaduan tersebut, Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi yang menyoroti adanya pelanggaran HAM terhadap hak-hak anak yang bekerja di OCI Taman Safari Indonesia.

Beberapa pelanggaran HAM yang dimaksud meliputi:

  • Hak untuk mengetahui asal usul, identitas, dan hubungan kekeluargaan.
  • Hak untuk bebas dari eksploitasi ekonomi.
  • Hak untuk memperoleh pendidikan yang layak yang dapat menjamin masa depan.
  • Hak untuk memperoleh perlindungan keamanan dan jaminan sosial, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Komnas HAM tidak hanya mengidentifikasi pelanggaran, tetapi juga merekomendasikan langkah-langkah konkret untuk mengakhiri dan mencegah terulangnya tindakan serupa di masa mendatang. Salah satu rekomendasi penting adalah upaya menjernihkan asal-usul para pemain sirkus OCI yang belum jelas identitasnya. Dalam surat rekomendasi tersebut, OCI menyatakan kesediaannya untuk bekerja sama dengan Komnas HAM dalam memberikan informasi yang dibutuhkan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan, termasuk memperbaiki praktik-praktik pelatihan anak-anak atlet sirkus. Komnas HAM menekankan bahwa pelatihan yang disiplin dan keras tidak boleh menjurus pada penyiksaan, baik secara fisik maupun mental. Selain itu, Komnas HAM juga menyarankan agar sengketa antara OCI dan anak-anak atlet/eks-atlet sirkus diselesaikan secara kekeluargaan.

Namun, upaya penyelesaian kasus ini menemui jalan buntu. Uli mengungkapkan bahwa kasus ini sempat dilaporkan ke kepolisian pada tahun 1999, namun penyidikannya dihentikan. Meski demikian, Komnas HAM kembali menyarankan para korban untuk menempuh jalur hukum guna menyelesaikan permasalahan mereka. Pada 6 Januari 2025, Komisi Pengaduan Komnas HAM memberikan saran agar permasalahan ini diselesaikan melalui proses hukum yang berlaku.

Muhammad Soleh, kuasa hukum para mantan pemain sirkus, mengungkapkan bahwa salah satu kliennya, Fifi, telah melaporkan dugaan pelanggaran tersebut ke Mabes Polri sejak tahun 1997 dengan sangkaan pelanggaran Pasal 277 KUHP tentang penghilangan asal-usul. Sayangnya, kasus tersebut dihentikan dengan alasan kurangnya bukti. Fifi, yang menjadi korban dan telah melapor sejak tahun 1997, mengaku kecewa dengan penanganan kasusnya oleh kepolisian. Ia bahkan mengaku tidak memahami prosedur hukum saat pertama kali membuat laporan, termasuk ketika polisi memintanya untuk melakukan visum. Fifi merasa tidak mendapatkan pembelaan yang seharusnya karena telah mengalami penyiksaan dan penderitaan.

Menanggapi permasalahan ini, pihak Taman Safari Indonesia (TSI) mengeluarkan pernyataan resmi yang menegaskan bahwa mereka tidak memiliki keterkaitan dengan para mantan pemain sirkus yang mengaku mengalami kekerasan. Manajemen TSI menyatakan bahwa masalah tersebut bersifat pribadi dan melibatkan individu tertentu. TSI juga meminta agar kasus dugaan kekerasan dan eksploitasi tersebut tidak dikaitkan dengan pihak mereka. Mereka mengklaim berkomitmen untuk menjalankan kegiatan usaha dengan mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG), kepatuhan hukum, serta etika bisnis yang bertanggung jawab. TSI juga mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta yang jelas.

Kasus dugaan eksploitasi pemain sirkus di Oriental Circus Indonesia ini menjadi sorotan kembali setelah puluhan tahun berlalu. Rekomendasi Komnas HAM yang pernah dikeluarkan pada tahun 1997 belum mampu memberikan keadilan bagi para korban. Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya perlindungan hak asasi anak dan penegakan hukum yang adil bagi semua pihak.