Tragedi Puncak Carstensz dan Ancaman Hilangnya Gletser Terakhir di Indonesia
Tragedi Puncak Carstensz dan Ancaman Hilangnya Gletser Terakhir di Indonesia
Tragisnya, pendakian di Puncak Carstensz, puncak tertinggi di Indonesia, baru-baru ini berujung pada musibah yang merenggut nyawa dua pendaki wanita, Lilie Wijayanti dan Elsa Laksono. Kejadian ini menyoroti bukan hanya bahaya laten yang mengintai para pendaki di ketinggian ekstrem, tetapi juga ancaman yang lebih besar terhadap keberlangsungan lingkungan di wilayah tersebut: penyusutan drastis gletser Puncak Jaya, satu-satunya tempat di Indonesia yang memiliki salju abadi.
Puncak Jaya, atau Carstensz Pyramid, menjulang setinggi 4.884 meter di atas permukaan laut, menjadi bagian dari tujuh puncak tertinggi dunia (7 Summits). Keberadaan gletser di puncak ini, dengan suhu yang mencapai 0 derajat Celcius, selama ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para peneliti dan pendaki. Namun, keindahan alam yang luar biasa ini kini terancam punah akibat perubahan iklim global.
Data yang mengkhawatirkan menunjukkan penyusutan area es yang signifikan. BMKG mencatat penurunan area es dari 200 kilometer persegi menjadi hanya 2 kilometer persegi pada tahun 2022. Time lapse dari Google Earth Engine, yang merekam perubahan selama 36 tahun (1984-2020), memperlihatkan secara visual bagaimana area bersalju di Puncak Jaya menyusut secara drastis. Ironisnya, di sisi lain, penambangan masif di sebelah barat laut Carstensz semakin memperparah situasi dengan meninggalkan lubang-lubang besar di kaki gunung, yang mempercepat proses pencairan es.
Laporan PBB yang dikutip BBC memproyeksikan skenario yang lebih mengerikan. Gletser di situs warisan dunia ini diprediksi akan mencair sepenuhnya dalam tiga dekade mendatang. Hanya dengan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius, dua pertiga sisa gletser masih berpotensi diselamatkan. Namun, laporan PBB lainnya menunjukkan bahwa dunia saat ini tidak memiliki jalur yang kredibel untuk mencapai target tersebut. Beata Csatho, ahli gletser dari University at Buffalo, menekankan kecepatan penyusutan gletser yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah, berbeda dengan kondisi yang relatif stabil di pertengahan abad ke-20.
Donaldi Sukma Permana PhD, Peneliti Madya Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG, memperkirakan bahwa es di Papua akan habis antara tahun 2025 dan 2030. Penyebab utamanya adalah pemanasan global, yang mencairkan es di berbagai wilayah pegunungan tropis, termasuk Andes di Peru dan Kilimanjaro di Afrika. Meskipun upaya pengurangan gas rumah kaca dapat memperlambat proses pencairan, Donaldi pesimistis tentang kemungkinan mempertahankan keberadaan tutupan es di Papua dalam beberapa tahun mendatang, mengingat kondisi fisik gletser yang telah mengalami penyusutan signifikan dan banyak rekahan. Permukaan batuan yang lebih gelap akibat penyusutan es menyerap panas matahari lebih banyak, mempercepat proses pencairan.
Hilangnya gletser Puncak Carstensz bukan hanya kehilangan keindahan alam, tetapi juga kehilangan sumber daya air dan dampak ekologi yang lebih luas. Tragedi pendakian ini harus menjadi panggilan kesadaran bagi kita semua untuk mengambil tindakan nyata dalam mengatasi perubahan iklim dan menyelamatkan warisan alam Indonesia yang tak ternilai harganya sebelum semuanya terlambat.