Celah Pajak Progresif: Praktik Pendaftaran Kendaraan Mewah Atas Nama Perusahaan Makin Marak
Celah Pajak Progresif: Praktik Pendaftaran Kendaraan Mewah Atas Nama Perusahaan Makin Marak
Penerapan pajak progresif untuk kendaraan bermotor di Indonesia telah memicu praktik penggelapan pajak yang semakin meluas. Banyak pemilik kendaraan mewah, terutama mereka yang memiliki lebih dari satu unit, mendaftarkan aset mereka atas nama perusahaan demi menghindari besaran pajak progresif yang lebih tinggi. Praktik ini menjadi perhatian serius, mengingat potensi kerugian negara yang signifikan dan ketidakadilan sistem perpajakan.
Kasus-kasus seperti yang melibatkan Harvey Moeis, yang terungkap dalam persidangan tindak pidana pencucian uang, menjadi contoh nyata. Jaksa menemukan sejumlah mobil mewah miliknya terdaftar atas nama perusahaan, sebuah strategi untuk mengaburkan jejak aset hasil tindak pidana dan menghindari kewajiban pajak progresif yang seharusnya dibayarkan. Direktur Registrasi dan Identifikasi Korlantas Polri, Brigjen Pol Yusri Yunus, bahkan menyebut bahwa 95 persen mobil mewah di Indonesia terdaftar atas nama perusahaan untuk tujuan yang sama. Kemudahan mendirikan perusahaan dengan biaya yang relatif rendah, yakni sekitar Rp 4 juta, semakin mempermudah praktik ini. Setelah terjaring tilang, nama perusahaan yang tertera pada STNK pun menjadi ‘tameng’ bagi para pemilik kendaraan.
Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No. 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang memberikan pembebasan pajak progresif untuk kendaraan atas nama badan atau perusahaan, semakin memperparah situasi. Pasal 7 ayat (3) Perda tersebut menetapkan tarif Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) untuk kendaraan milik badan hukum sebesar 2% dan tanpa pajak progresif, dengan dalih sebagai dukungan pemerintah kepada pelaku usaha. Kebijakan ini dinilai kontraproduktif, karena justru menciptakan celah bagi praktik penggelapan pajak dan merugikan pendapatan negara.
Sementara itu, untuk kendaraan pribadi, pajak progresif tetap berlaku dengan rincian sebagai berikut:
- 2% untuk kendaraan pertama;
- 3% untuk kendaraan kedua;
- 4% untuk kendaraan ketiga;
- 5% untuk kendaraan keempat;
- 6% untuk kendaraan kelima dan seterusnya.
Tarif baru ini berlaku di Jakarta mulai 5 Januari 2025, dan kepemilikan kendaraan ditentukan berdasarkan nama, NIK, dan/atau alamat yang sama. Ketimpangan antara perlakuan pajak untuk kendaraan pribadi dan kendaraan atas nama perusahaan ini perlu dikaji ulang. Pemerintah perlu mencari solusi yang lebih efektif untuk menutup celah ini dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak, agar sistem perpajakan lebih adil dan optimal.
Ke depan, perlu ada evaluasi mendalam terhadap sistem pajak progresif dan regulasi terkait pendaftaran kendaraan. Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum juga sangat penting untuk mencegah praktik penggelapan pajak yang merugikan keuangan negara dan menciptakan ketidakadilan di antara wajib pajak.