Gelombang PHK Mengkhawatirkan, Pemerintah Diminta Bertindak Cepat Lindungi Pekerja
Gelombang PHK Mengkhawatirkan, Pemerintah Diminta Bertindak Cepat Lindungi Pekerja
Jakarta - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terus terjadi sejak tahun lalu memicu kekhawatiran di kalangan legislator. Anggota Komisi VII DPR RI, Yoyok Riyo Sudibyo, menyampaikan keprihatinannya atas situasi ini, melihatnya bukan sekadar gejolak bisnis biasa, melainkan indikasi krisis sosial-ekonomi yang nyata.
"Ini bukan sekadar angka statistik. Di balik setiap angka, ada ribuan keluarga yang kehilangan mata pencaharian, anak-anak yang terancam putus sekolah, dan masyarakat yang semakin terpinggirkan," tegas Yoyok. Ia menggambarkan badai PHK sebagai potret kepedihan yang nyata, menuntut respons cepat dan terukur dari pemerintah.
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa dalam dua bulan pertama tahun 2025, lebih dari 18.000 pekerja telah kehilangan pekerjaan mereka. Sejumlah perusahaan besar, termasuk nama-nama seperti PT Sritex (dengan 10.665 pekerja terdampak), PT Yamaha Music Product Asia, PT Yamaha Indonesia, PT Sanken Indonesia, dan PT Victory Ching Luh, telah mengumumkan PHK massal. Wilayah Jawa Tengah, Riau, dan DKI Jakarta mencatat jumlah kasus PHK tertinggi.
Kondisi ini diperparah dengan gelombang PHK yang terjadi sepanjang tahun 2024, di mana sektor industri padat karya menjadi yang paling terpukul. Yoyok menekankan perlunya intervensi pemerintah untuk memberikan solusi konkret bagi masyarakat yang terdampak PHK. Ia mendesak agar negara hadir untuk melindungi sektor industri yang terpukul akibat kondisi perekonomian global dan faktor internal dalam negeri, terutama industri padat karya.
Industri padat karya tidak hanya menghadapi tantangan domestik, tetapi juga tekanan global. Yoyok menyoroti potensi dampak negatif dari kebijakan proteksionisme perdagangan negara lain, seperti rencana kenaikan tarif impor oleh Amerika Serikat, terhadap daya saing ekspor Indonesia. Ia memperingatkan bahwa jika Indonesia tidak memperkuat fondasi industri dan perlindungan tenaga kerja, gelombang PHK akan terus berulang.
Oleh karena itu, Yoyok mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah konkret, termasuk memberikan insentif bagi industri padat karya. Ia juga menekankan perlunya peningkatan program pelatihan bagi korban PHK agar dapat beradaptasi dengan kebutuhan pasar, serta pendidikan dan pelatihan program vokasi untuk mengembangkan industri kreatif dan non-formal.
Reformasi sistem jaminan sosial ketenagakerjaan juga dianggap penting agar korban PHK tidak hanya bergantung pada pesangon. Yoyok mengusulkan agar pekerja yang di-PHK mendapatkan pelatihan, pendampingan, dan subsidi upah transisi.
"Perlindungan terhadap industri padat karya merupakan langkah strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional serta memastikan keberlanjutan lapangan kerja bagi jutaan tenaga kerja Indonesia," jelas Yoyok.
Selain itu, Yoyok berharap pemerintah melalui kementerian terkait dapat menyusun rencana pemulihan ketenagakerjaan secara nasional. Menurutnya, hal itu perlu dilakukan bukan sekadar mengandalkan pesangon atau program bersifat reaktif, tetapi menciptakan ekosistem kerja baru yang lebih berdaya tahan. Negara memiliki peran penting karena konstitusi menjamin hak setiap warga negara memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Pemerintah membentuk satgas PHK
Menyikapi situasi ini, pemerintah telah mengambil langkah dengan membentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk menangani masalah PHK. Inisiatif ini muncul setelah pertemuan antara Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco, Mensesneg Prasetyo Hadi, Seskab Teddy Indra Wijaya, dan pimpinan serikat buruh.
Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea mengungkapkan bahwa satgas PHK akan melibatkan unsur pemerintah, buruh, pengusaha, dan akademisi. Satgas ini akan bertugas tidak hanya menangani masalah PHK yang sudah terjadi, tetapi juga melakukan upaya-upaya pencegahan PHK dan memetakan persoalan ketenagakerjaan di Indonesia untuk dicarikan solusi yang tepat.