KPK Belum Pastikan Pemanggilan La Nyalla Terkait Kasus Dana Hibah Jawa Timur

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih belum memberikan kepastian terkait pemanggilan La Nyalla Mattalitti, anggota DPD RI, setelah penggeledahan yang dilakukan di kediamannya. Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menyampaikan bahwa keputusan pemanggilan La Nyalla, yang juga mantan Ketua DPD RI, akan ditentukan oleh penyidik.

"Kita tunggu saja perkembangannya. Mengenai apakah saudara LN (La Nyalla) akan dipanggil setelah penggeledahan, itu kewenangan penyidik," ujar Tessa di Jakarta, Rabu (16/4/2025).

Sebelumnya, penyidik KPK menggeledah rumah La Nyalla di Surabaya, Jawa Timur, pada Senin (14/4/2025). Penggeledahan ini terkait dengan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan dana hibah kelompok masyarakat (Pokmas) di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Tessa menjelaskan bahwa pemanggilan La Nyalla serta pihak-pihak lain yang terkait dengan kasus ini sepenuhnya menjadi pertimbangan penyidik. Selain kediaman La Nyalla, KPK juga telah menggeledah enam lokasi lain dalam rentang waktu 14-16 April 2025, sebagai bagian dari penyidikan kasus tersebut.

"Penggeledahan di rumah saudara LN maupun di lokasi lain, baik rumah maupun kantor subjek hukum yang terkait, akan menjadi dasar bagi penyidik untuk memanggil pihak-pihak yang berwenang di tempat tersebut," imbuhnya.

Lebih lanjut, Tessa memastikan bahwa penggeledahan di tujuh lokasi tersebut didasari oleh adanya petunjuk yang kuat dari penyidik.

"Penyidik memiliki petunjuk dan kewenangan untuk melakukan penggeledahan, termasuk di rumah saudara LN," tegasnya.

Tessa juga mengungkapkan bahwa penggeledahan rumah La Nyalla berkaitan dengan jabatannya sebagai pimpinan di Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jawa Timur.

"Ada kaitan dengan posisi yang bersangkutan sebagai wakil ketua di salah satu organisasi di Jawa Timur," jelasnya.

Sebagai informasi tambahan, KPK telah menetapkan 21 orang sebagai tersangka dalam pengembangan penyidikan kasus ini pada 12 Juli 2024. Dari jumlah tersebut, empat orang ditetapkan sebagai tersangka penerima suap, sementara 17 orang lainnya sebagai tersangka pemberi suap.

Dari empat tersangka penerima suap, tiga di antaranya adalah penyelenggara negara, dan satu orang merupakan staf penyelenggara negara. Sementara itu, dari 17 tersangka pemberi suap, 15 orang berasal dari pihak swasta dan dua orang merupakan penyelenggara negara.