Industri Baja Inggris Terpuruk: Refleksi dan Peringatan bagi Indonesia

Kondisi industri baja di Inggris saat ini tengah menghadapi masa-masa sulit. Dua perusahaan besar, Tata Steel UK dan British Steel, berjuang mengatasi tantangan berat seperti proteksi perdagangan yang tidak memadai, penurunan daya saing akibat biaya produksi yang meningkat, dan kesulitan beradaptasi dengan transisi energi.

Pada April 2024, pemerintah Inggris terpaksa turun tangan memberikan bantuan dana kepada Tata Steel UK untuk menjaga keberlangsungan pabrik Port Talbot dan menyelamatkan ribuan pekerjaan. Di sisi lain, British Steel masih berjuang menghindari penutupan fasilitas produksi akibat ketidakpastian pendanaan. Krisis ini bukan hanya masalah internal perusahaan, tetapi juga mencerminkan tekanan struktural yang dihadapi industri baja Inggris secara keseluruhan, terutama akibat membanjirnya impor baja murah dari negara-negara dengan kelebihan kapasitas, termasuk China.

Kondisi ini menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia, negara berkembang dengan ambisi besar untuk menjadi kekuatan industri baru. Dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa dan target pertumbuhan ekonomi yang tinggi, Indonesia membutuhkan baja dalam jumlah besar untuk mendukung pembangunan infrastruktur, industri manufaktur, dan sektor lainnya. Proyeksi kebutuhan baja Indonesia pada tahun 2045 diperkirakan mencapai 100 juta ton per tahun jika semua rencana pembangunan berjalan sesuai target.

Namun, Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks. Meskipun kapasitas produksi baja nasional saat ini masih di bawah 20 juta ton per tahun, dengan tingkat utilisasi pabrik yang belum optimal, lebih dari 40% konsumsi baja domestik masih dipenuhi oleh impor. Ini menunjukkan adanya masalah struktural berupa kelebihan kapasitas yang tidak produktif dan utilisasi pabrik yang rendah. Banyak pabrik baja nasional tidak mampu bersaing karena berbagai faktor, termasuk biaya produksi yang tinggi, kualitas yang belum optimal, dan praktik perdagangan curang seperti subsidi besar-besaran dari negara lain.

Tanpa perlindungan yang memadai dari pemerintah, industri baja domestik akan sulit bersaing dengan produk impor murah yang dijual di bawah harga keekonomian. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk melindungi dan mengembangkan industri baja nasional. Kebijakan peningkatan kapasitas harus disertai dengan sistem perlindungan yang memadai agar tidak menciptakan masalah baru berupa kelebihan kapasitas yang tidak produktif.

Indonesia berada pada posisi strategis. Di satu sisi, industri baja nasional menghadapi masalah struktural yang kompleks. Di sisi lain, jika tidak dipersiapkan dengan baik, Indonesia berisiko mengalami lonjakan kebutuhan baja di masa depan dan menjadi sangat bergantung pada impor. Untuk menghindari kesalahan yang sama seperti Inggris, Indonesia perlu melakukan transformasi yang tepat dan terarah untuk membangun industri baja yang kuat dan mandiri.

Pelajaran dari Inggris sangat jelas: liberalisasi total tanpa strategi protektif dapat menyebabkan deindustrialisasi. Sejak privatisasi dan deregulasi besar-besaran pada tahun 1980-an, industri baja Inggris mengalami penurunan investasi, stagnasi teknologi, dan pelemahan posisi pasar. Ketika impor baja murah dari China membanjiri pasar global, industri Inggris yang tidak lagi dilindungi, tergerus habis oleh persaingan harga. Tidak adanya intervensi strategis membuat mereka kalah bukan karena kekurangan pasar, tetapi karena harus berhadapan dengan impor berharga sangat rendah akibat subsidi dan praktik dumping.

Ironisnya, ketika banyak negara kini memperkuat sistem perlindungan industrinya, Indonesia malah tengah merancang kebijakan yang berpotensi menghapus pembatasan impor dan melonggarkan kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Kebijakan ini, jika diterapkan tanpa pertimbangan yang matang, dapat mempercepat proses deindustrialisasi seperti yang dialami Inggris. Negara-negara yang berhasil mempertahankan industrinya mengambil langkah tegas dan terarah.

Amerika Serikat, misalnya, menerapkan tarif baja sejak 2018 dan memperluasnya melalui Liberation Day Tariff pada 2025. Dalam konteks transisi energi, mereka memfasilitasi transformasi ke arah baja hijau melalui pendanaan riset, dukungan hidrogen, dan relokasi teknologi emisi rendah. Indonesia belum terlambat, tetapi tidak punya banyak waktu. Strategi pembangunan industri baja ke depan harus dimulai dari pengakuan bahwa industri ini adalah sektor yang sangat strategis.

Di India, keberadaan Kementerian Baja memperlihatkan keseriusan negara dalam mengelola sektor ini sebagai prioritas nasional. Di China, pembangunan ekosistem riset dan inovasi baja dilakukan melalui jaringan lembaga teknologi dan kemitraan negara-korporasi yang solid. Indonesia perlu membangun kerangka kelembagaan dan kebijakan yang berpihak secara eksplisit pada penguatan industri baja nasional.

Membangun industri baja yang kuat tidak bisa diserahkan pada pelaku usaha semata. Negara harus hadir dengan memberikan perlindungan terhadap pasar domestik dari praktik perdagangan curang, mendukung investasi kapasitas baru yang terarah dan sesuai kebutuhan nasional melalui insentif yang kompetitif, serta membenahi struktur biaya produksi secara nasional agar industri baja benar-benar siap menghadapi tantangan global.

Kegagalan Inggris mempertahankan industrinya membuktikan bahwa ketika negara memilih untuk tidak bertindak, itu sama saja dengan membiarkan industri nasional dihancurkan oleh kekuatan pasar global. Bagi Indonesia, tantangan ini harus dijawab dengan pendekatan sistemik: menyatukan kebijakan perdagangan, energi, investasi, dan teknologi dalam satu peta jalan industri baja nasional. Sebagai negara berkembang yang bercita-cita menjadi negara maju, Indonesia tidak boleh kehilangan industri baja seperti Inggris. Dalam konteks geopolitik global yang semakin fragmentaris dan era proteksionisme baru, kemandirian industri adalah fondasi dari kedaulatan ekonomi.

Industri baja bukan sekadar bisnis logam. Ia adalah simbol kemampuan negara membangun, memproduksi, dan berdiri di atas kaki sendiri. Dan untuk itu, negara harus hadir, bukan untuk menggantikan pasar, tetapi untuk mengarahkan dan melindungi agar pasar bekerja bagi kepentingan nasional jangka panjang. Pada akhirnya, persaingan industri baja global bukan lagi ditentukan oleh keunggulan perusahaan, tetapi oleh kekuatan kebijakan negara. Siapa yang memiliki strategi, keberpihakan, dan keberanian untuk melindungi serta membangun industrinya—dialah yang akan bertahan.