AI dalam Jurnalistik: Antara Peluang dan Tantangan Etika
Integrasi AI dalam Media: Sebuah Analisis Mendalam
Perkembangan pesat kecerdasan buatan (AI) telah merambah berbagai sektor, termasuk media dan jurnalistik. Dewan Pers telah mengeluarkan panduan terkait pemanfaatan AI dalam karya jurnalistik, yang menandakan pengakuan terhadap potensi sekaligus perlunya regulasi yang jelas.
Jurnalis senior Jamalul Insan menekankan pentingnya pengawasan ketat dalam penggunaan AI di ruang redaksi. Menurutnya, meskipun AI dapat membantu dalam menghasilkan konten audio visual, jurnalis harus tetap melakukan verifikasi dan validasi untuk menghindari pelanggaran hak cipta dan memastikan akurasi informasi.
"Penggunaan AI diperbolehkan, namun dengan pengawasan yang ketat dan verifikasi yang mendalam untuk menghindari pelanggaran hak cipta dan memastikan akurasi," ujar Jamal.
Peneliti media Abie Besman berpendapat bahwa AI sebaiknya berperan sebagai co-actor, bukan penulis utama dalam proses jurnalistik. Ia menekankan bahwa campur tangan manusia dalam proses editorial sangat penting untuk menjaga etika, konteks, dan akuntabilitas.
Rambu-Rambu Pemanfaatan AI dalam Jurnalistik
Abie Besman memberikan tiga rambu-rambu penting dalam pemanfaatan AI oleh media:
- Transparansi Redaksional: Publik berhak mengetahui jika sebuah konten jurnalistik dihasilkan dengan bantuan AI. Transparansi ini penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap media.
- Proses yang Bertanggung Jawab: Jurnalis tidak boleh menyerahkan seluruh proses editorial kepada AI. Harus ada mekanisme kontrol dan review oleh manusia untuk memastikan bahwa framing berita tetap sesuai dengan nilai-nilai etika jurnalistik.
- Audit dan Akuntabilitas Algoritma: Algoritma AI yang digunakan dalam newsroom harus dapat diaudit. Hal ini penting untuk menghindari bias, ketidakadilan representasi, dan penyebaran disinformasi.
Tantangan di Era 'Belantara' Media
Jamalul Insan menggambarkan kondisi media saat ini sebagai 'belantara', di mana kemudahan mendirikan media setelah era Reformasi menyebabkan persaingan yang ketat dan potensi penyebaran informasi yang tidak akurat.
"Regulasi yang longgar pasca Reformasi '98 memungkinkan siapa saja untuk mendirikan media dan mengaku sebagai jurnalis," kata Jamal.
Abie Besman menambahkan bahwa kuantitas media yang banyak tidak selalu menjamin kualitas. Ia menekankan pentingnya keberagaman sistemik, termasuk kepemilikan media yang tidak terkonsentrasi, redaksi yang independen, dan media yang tidak sepenuhnya tunduk pada algoritma.
"Idealnya, jumlah media yang banyak mencerminkan keberagaman suara, namun tidak boleh dikendalikan oleh kekuatan pasar atau politik yang seragam," jelas Abie.
Salah satu tantangan utama di era ini adalah kemampuan memilah dan memilih informasi. Algoritma cenderung memprioritaskan konten yang viral, sehingga jurnalisme berisiko terjebak pada engagement-driven journalism, di mana berita dipilih berdasarkan potensinya untuk diklik, bukan berdasarkan nilainya.
Solusinya, menurut Abie, adalah menempatkan kembali manusia sebagai pusat keputusan. Teknologi harus tunduk pada logika jurnalisme, bukan sebaliknya. Jurnalis harus tetap memegang kendali atas proses editorial dan memastikan bahwa informasi yang disajikan akurat, berimbang, dan bertanggung jawab.