DPR RI Kembali Menggagas Pembahasan RUU Hukum Acara Pidana: Menuju Sistem Peradilan yang Lebih Adil
RUU KUHAP Kembali Dibahas: Upaya Reformasi Sistem Peradilan Pidana
Wacana mengenai reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali mencuat ke permukaan. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) periode 2024-2029 secara aktif menggagas kembali pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Pidana, menandai langkah penting dalam upaya pembaruan sistem peradilan pidana di Indonesia.
Kilas Balik Upaya Pembahasan Sebelumnya
Sejarah mencatat, upaya modernisasi KUHAP telah dimulai sejak tahun 2012. Kala itu, pemerintah mengajukan RUU Hukum Acara Pidana melalui Amanat Presiden (Ampres) Nomor R57-87-Pres/12/2012. Pembahasan sempat bergulir, namun terhenti di Pasal 1 akibat perbedaan pandangan yang signifikan.
Pada masa itu, RUU KUHAP menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Indonesian Corruption Watch (ICW), yang menilai bahwa RUU tersebut berpotensi melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kekhawatiran utama terletak pada penghapusan kewenangan penyelidikan KPK dan munculnya gagasan Hakim Pemeriksaan Pendahuluan (HPP) yang dianggap dapat menghambat proses penahanan dan upaya paksa lainnya. Gelombang penolakan dari KPK dan masyarakat sipil mendorong pemerintah dan DPR untuk menunda pembahasan RUU KUHAP pada tahun 2014, dengan prioritas dialihkan pada pembahasan RUU KUHP.
Seiring bergantinya periode DPR hingga tiga kali, draf RUU KUHAP tahun 2012 tidak termasuk dalam kategori RUU yang berstatus carry over sebagaimana diatur dalam Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini menjadi salah satu alasan diajukannya kembali RUU KUHAP sebagai RUU inisiatif DPR pada periode 2024-2029.
Inisiatif DPR dan Proses Penyusunan RUU
Komisi III DPR RI periode 2024-2029 menindaklanjuti hasil rapat internal pada 23 Oktober 2024 dengan membentuk RUU Hukum Acara Pidana. Badan Keahlian DPR ditugaskan untuk menyusun Naskah Akademik (NA) dan draf RUU Hukum Acara Pidana.
Dalam proses penyusunan, Badan Keahlian DPR RI telah melakukan serangkaian kegiatan untuk menjaring aspirasi masyarakat, termasuk:
- Diskusi dengan aparat penegak hukum, seperti Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum), staf ahli Kapolri, dan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham).
- Diskusi dengan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang hukum dan HAM.
- Penyelenggaraan webinar dengan menghadirkan narasumber dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan perwakilan pemerintah.
Webinar yang diselenggarakan pada 23 Januari 2025 berhasil menarik perhatian lebih dari 1.000 peserta melalui platform Zoom dan lebih dari 7.300 peserta melalui kanal YouTube DPR RI. Peserta webinar berasal dari berbagai latar belakang, termasuk perguruan tinggi, kementerian/lembaga, organisasi kemasyarakatan, organisasi advokat, dan aparat penegak hukum.
Komisi III DPR RI juga aktif melakukan serangkaian kegiatan untuk menjaring aspirasi masyarakat, antara lain:
- Rapat Kerja dengan Ketua Komisi Yudisial.
- Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Ketua Kamar Pidana dan Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung RI.
- Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan advokat.
- Publikasi Naskah Akademik (NA) dan RUU tentang Hukum Acara Pidana melalui laman resmi DPR RI.
- Konferensi Pers terkait peluncuran RUU tentang Hukum Acara Pidana.
- RDPU dengan advokat dan akademisi.
- Konferensi Pers terkait Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU Hukum Acara Pidana.
- Penyerapan Aspirasi dengan berbagai organisasi masyarakat sipil.
Masukan dari Masyarakat dan Poin-Poin Krusial
Berbagai masukan penting berhasil dihimpun selama proses penyerapan aspirasi masyarakat, di antaranya:
- Mahkamah Agung menolak keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP).
- Advokat mengusulkan adanya pasal khusus yang mengatur imunitas advokat.
- Seluruh fraksi sepakat agar pasal penghinaan Presiden dalam KUHP diselesaikan terlebih dahulu dengan mekanisme restorative justice.
- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meminta penghapusan pasal yang mengharuskan adanya izin peliputan media.
Pada 16 Februari 2025, Komisi III DPR RI menyampaikan NA dan RUU Hukum Acara Pidana kepada Pimpinan DPR RI. Selanjutnya, rapat paripurna pada 18 Februari 2025 menyepakati RUU Hukum Acara Pidana menjadi RUU usul DPR RI.
Ketua DPR RI kemudian menyampaikan NA dan RUU Hukum Acara Pidana kepada Presiden. Sebagai tindak lanjut, Presiden mengirimkan Surat Presiden RI kepada Ketua DPR RI perihal Penunjukan Wakil Pemerintah untuk membahas RUU Hukum Acara Pidana.
Tahapan Selanjutnya
Proses selanjutnya adalah pembahasan RUU KUHAP di Komisi III DPR RI secara resmi. Pembahasan akan diawali dengan Rapat Kerja Komisi III dengan wakil pemerintah. Komisi III berkomitmen untuk terus menjaring aspirasi masyarakat sebelum dan sesudah rapat Panitia Kerja (Panja). Seluruh rapat pembahasan KUHAP akan dilaksanakan secara terbuka di Gedung DPR dan disiarkan secara langsung oleh TV Parlemen.
DPR RI berharap masyarakat dapat terus mengawal dan berpartisipasi aktif dalam pembahasan KUHAP, sehingga dapat menghasilkan KUHAP baru yang benar-benar mampu menghadirkan keadilan dalam proses peradilan pidana.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan komitmen DPR untuk memastikan transparansi dan partisipasi publik dalam proses pembahasan RUU KUHAP.