RUU Perampasan Aset: Upaya Strategis Pemulihan Ekonomi Nasional
Dalam lanskap ekonomi modern, aset memegang peranan vital sebagai motor penggerak produktivitas dan pertumbuhan. Namun, ketika aset tersebut merupakan hasil dari tindak pidana korupsi, pencucian uang, atau kejahatan ekonomi lainnya, dampaknya menjadi sangat merusak bagi sistem keuangan negara.
Dana publik yang seharusnya dialokasikan untuk sektor-sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, dan subsidi pangan, justru tersembunyi dalam bentuk aset seperti properti mewah, rekening bank di luar negeri, atau aset digital yang mengatasnamakan pihak ketiga. Dalam konteks ini, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA) menjadi semakin relevan sebagai instrumen untuk memulihkan sumber daya ekonomi yang hilang dan mengembalikannya ke negara.
Definisi Aset dalam RUU Perampasan Aset
Secara ekonomi, aset didefinisikan sebagai sumber daya bernilai ekonomi yang dimiliki oleh individu, perusahaan, atau negara. Dalam berbagai draf dan kajian akademis terkait RUU PA, definisi aset yang dapat dirampas mencakup spektrum yang luas, mencerminkan kompleksitas tindak pidana dan upaya pelacakan hasil kejahatan. Aset-aset ini tidak hanya terbatas pada bentuk fisik, tetapi juga meliputi kekayaan non-fisik, serta aset yang terkait dengan pihak ketiga atau aset pengganti.
-
Aset Berwujud: Aset berwujud mencakup berbagai bentuk kekayaan yang dapat dilihat dan disentuh secara langsung, seperti uang tunai, properti (rumah, apartemen, tanah), kendaraan bermotor, barang berharga (emas, perhiasan, karya seni), saham, surat berharga, dan logam mulia. Aset-aset ini sering menjadi target utama karena nilainya yang signifikan dan kemudahan pengalihan kepemilikan.
-
Aset Tidak Berwujud: Di luar bentuk fisik, perampasan aset juga mencakup aset tidak berwujud, seperti hak atas kekayaan intelektual (paten, hak cipta), kepemilikan dalam perusahaan atau entitas bisnis, piutang yang masih dapat ditagih, dan aset digital (cryptocurrency, dompet elektronik). Jenis aset ini memerlukan mekanisme pelacakan yang lebih canggih karena tidak selalu memiliki bentuk konkret, tetapi menyimpan nilai ekonomi yang tinggi.
-
Aset Substitusi: RUU PA juga mengakui keberadaan aset substitusi, yaitu harta lain yang bukan hasil langsung dari tindak pidana, tetapi digunakan sebagai pengganti aset yang telah dialihkan, disembunyikan, atau dicuci untuk menghindari pelacakan oleh penegak hukum. Pendekatan ini menunjukkan fleksibilitas dan ketegasan negara dalam menutup celah yang sering dimanfaatkan untuk menyamarkan hasil kejahatan.
-
Aset Pihak Ketiga: Aset pihak ketiga juga termasuk dalam kategori yang dapat dirampas. Ini mencakup aset yang secara hukum atau administratif dikuasai oleh kerabat, rekan bisnis, atau nominee, yang dijadikan perantara oleh pelaku untuk menyembunyikan asal-usul aset ilegal. Keterlibatan pihak ketiga seringkali menjadi penghalang dalam proses pelacakan dan pembuktian, sehingga pengaturan ini menjadi krusial dalam menjangkau seluruh jaringan yang terlibat dalam kejahatan terorganisir.
Dengan cakupan definisi yang luas, RUU PA dirancang untuk memulihkan kerugian negara dan menghambat upaya pelaku kejahatan dalam mempertahankan hasil kejahatannya melalui berbagai instrumen kekayaan yang tersebar di berbagai bentuk.
RUU PA dari Perspektif Ekonomi
RUU PA bukan hanya instrumen hukum, tetapi juga solusi fiskal alternatif. Di tengah kebutuhan pembiayaan pembangunan dan tekanan defisit fiskal, negara memerlukan cara efektif untuk merebut kembali aset yang telah dicuri dari sistem formal. Undang-undang ini memungkinkan negara untuk mendapatkan kembali asetnya tanpa harus menambah utang atau membebani rakyat dengan pajak tambahan.
Aset yang berhasil dirampas dapat langsung dikonversi menjadi nilai produktif—digunakan untuk membangun infrastruktur, membiayai bantuan sosial, atau menopang sektor ekonomi strategis. Kerugian akibat tindak pidana korupsi dan pencucian uang bukan hanya soal jumlah uang yang hilang, tetapi juga kerusakan ekosistem ekonomi: investor kehilangan kepercayaan, biaya logistik dan bisnis meningkat, serta alokasi sumber daya menjadi tidak efisien.
Aset hasil kejahatan yang mengendap di luar sistem menciptakan ketimpangan dan memperlemah fungsi pasar yang adil. Dengan adanya instrumen perampasan aset, negara dapat mengembalikan keseimbangan ini. Ini bukan semata hukuman bagi pelaku, tetapi pemulihan bagi perekonomian nasional.
Salah satu elemen yang paling disorot dalam RUU ini adalah pendekatan non-conviction based asset forfeiture—perampasan aset tanpa menunggu putusan pidana terhadap pelaku. Dalam dunia ekonomi modern yang kompleks, pelaku kejahatan kerap melarikan diri, mengaburkan identitas, atau bahkan meninggal dunia. Menunggu proses hukum pidana yang panjang justru merugikan negara secara fiskal dan memperlama hilangnya nilai ekonomi dari aset tersebut. Dengan fokus pada asal-usul aset, bukan status hukum pelaku, negara dapat bertindak cepat dan tepat.
Kontroversi dan Risiko Ekonomi-Politik
RUU PA tidak lepas dari perdebatan, terutama terkait prinsip keadilan dan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Kekhawatiran bahwa hak milik warga negara dapat dirampas tanpa pembuktian yang kuat menjadi sorotan tajam. Dari sudut pandang ekonomi-politik, hal ini menciptakan dilema: di satu sisi negara membutuhkan mekanisme pemulihan aset yang efisien, di sisi lain perlindungan terhadap hak kepemilikan tetap menjadi fondasi dalam sistem ekonomi pasar.
Oleh karena itu, rancangan undang-undang ini idealnya diimbangi dengan desain institusional yang kuat, transparansi, serta pengawasan independen agar manfaat ekonominya tidak berubah menjadi biaya sosial yang tinggi.
Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) untuk menuju Indonesia 2045. Yang dibutuhkan adalah pemulihan kepercayaan—bahwa ekonomi Indonesia dikelola dengan integritas, dan hasil-hasil pembangunan tidak dirampok oleh elite korup.
RUU PA, jika dijalankan dengan hati-hati dan akuntabel, dapat menjadi game-changer dalam tata kelola ekonomi nasional. Dunia usaha akan lebih percaya untuk menanamkan modalnya, masyarakat lebih patuh pada pajak, dan negara memiliki alat baru untuk membiayai janji-janji pembangunan tanpa membebani generasi mendatang.
Korupsi dan kejahatan ekonomi selama ini menumpuk dalam bentuk aset-aset gelap yang tidak pernah kembali ke sistem. RUU PA memberikan peluang bagi negara untuk mengubah kerugian menjadi kekuatan, mengonversi kejahatan menjadi modal, dan menata ulang fondasi keadilan ekonomi. Di tangan yang tepat, undang-undang ini bukan hanya menjadi senjata hukum, tetapi juga investasi masa depan bagi generasi yang lebih adil dan makmur.