Kembalinya Penjurusan SMA Tuai Kritik: Kebijakan Pendidikan Dianggap Tanpa Arah yang Jelas
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) kembali mewacanakan penerapan penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Kebijakan ini muncul setelah penghapusan jurusan melalui Kurikulum Merdeka yang belum lama diterapkan.
Penghapusan jurusan di SMA secara resmi dimulai pada tahun ajaran 2025/2026, berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah. Namun, secara de facto, Kurikulum Merdeka telah diimplementasikan di beberapa sekolah sejak tahun ajaran 2021/2022.
Pakar kebijakan publik dari Universitas Brawijaya (UB), Andhyka Muttaqin, menyoroti bahwa salah satu esensi Kurikulum Merdeka adalah memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih mata pelajaran lintas jurusan. Oleh karena itu, wacana pengembalian penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa dinilai sebagai kebijakan yang tergesa-gesa.
Andhyka Muttaqin menyampaikan tiga alasan mengapa kebijakan ini dianggap prematur:
- Pertama, Kurikulum Merdeka belum dievaluasi secara komprehensif.
- Kedua, guru, sekolah, dan siswa masih dalam proses adaptasi dengan kurikulum yang baru.
- Ketiga, perubahan arah kurikulum yang terlalu cepat dapat menimbulkan kebingungan di semua pihak yang terlibat.
"Idealnya, pemerintah mengumpulkan data dan masukan dari guru, siswa, dan orang tua, serta melakukan kajian mendalam sebelum membuat perubahan kebijakan besar seperti ini," ujarnya.
Dampak Kebijakan yang Berubah-ubah
Perubahan kebijakan yang terlalu sering dapat menimbulkan sejumlah dampak negatif bagi guru, sekolah, siswa, dan orang tua.
Bagi Guru:
Guru harus terus beradaptasi dengan perubahan metode pengajaran, padahal belum sepenuhnya beradaptasi dengan kurikulum sebelumnya. Sekolah juga harus mengubah struktur pelajaran, jadwal, dan sistem administrasi yang ada.
"Ketidakpastian ini dapat menyebabkan stres dan kelelahan bagi para guru," kata Andhyka.
Bagi Siswa:
Siswa dapat mengalami kebingungan dalam menentukan arah karier mereka akibat ketidakkonsistenan kurikulum. Selain itu, ada risiko siswa tidak mendapatkan pembelajaran yang optimal karena sistem yang belum stabil.
"Hal ini dikarenakan kurikulum yang berubah ubah membuat siswa tidak fokus dalam pendalaman materi", jelasnya.
Bagi Orang Tua:
Orang tua akan merasa kesulitan dalam mendampingi anak-anak mereka belajar dan menentukan masa depan. Perubahan buku atau kebutuhan belajar lainnya juga dapat menambah beban biaya bagi orang tua.
"Orang tua berharap yang terbaik bagi anaknya", Ucap Andhyka.
Dampak bagi Masyarakat Umum
Di mata masyarakat umum, kebijakan yang sering berubah dapat menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan. Masyarakat mungkin bertanya-tanya apakah kebijakan ini didasarkan pada riset yang valid atau hanya sekadar coba-coba.
"Masyarakat akan beranggapan sistem pendidikan selalu berubah seperti uji coba," ungkapnya.
Kesan yang muncul adalah sistem pendidikan di Indonesia tidak memiliki arah yang jelas dan mudah berubah seiring dengan pergantian pejabat atau menteri.
Apakah Penjurusan di SMA Lebih Sesuai untuk Indonesia?
Andhyka menjelaskan kelebihan dan kekurangan dari sistem penjurusan. Kelebihannya adalah siswa dapat lebih fokus pada bidang tertentu yang sesuai dengan minat dan rencana karier mereka. Selain itu, siswa akan lebih mudah mempersiapkan diri untuk masuk perguruan tinggi sesuai dengan jalur yang dipilih.
Namun, penjurusan yang biasanya dilakukan di kelas 10 atau 11 dianggap terlalu dini dan dapat menutup kemungkinan siswa untuk mengeksplorasi minat yang lebih luas. Tidak semua siswa sudah mengetahui minat dan bakat mereka di usia tersebut.
Alternatif untuk Siswa SMA
Andhyka menyarankan agar siswa diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai mata pelajaran di kelas 10. Penjurusan dapat dilakukan secara bertahap dan fleksibel, sehingga siswa dapat memilih campuran mata pelajaran yang sesuai dengan minat mereka.
"Pendidikan sebaiknya adaptif, bukan kaku dalam kotak IPA, IPS, atau Bahasa," ujarnya.
Ia menyimpulkan bahwa kebijakan pendidikan harus dirumuskan secara konsisten, partisipatif, dan berdasarkan evaluasi yang matang. Perubahan yang terlalu cepat dapat membuat semua pihak merasa lelah dan bingung.
"Penjurusan boleh saja dipertimbangkan kembali, asalkan dilakukan dengan fleksibel dan berdasarkan kebutuhan siswa, bukan demi mengulang sistem lama," pungkasnya.