Intelektual di Balik Kebijakan Perdagangan Proteksionis Donald Trump: Dari Alexander Hamilton hingga Peter Navarro
Dalam lanskap politik Amerika Serikat, Donald Trump telah lama dikenal sebagai tokoh yang gigih memperjuangkan tarif. Jauh sebelum menjadi presiden, pada era 1980-an, Trump lantang menyerukan pengenaan tarif sebesar 25% terhadap produk impor Jepang yang membanjiri pasar Amerika. Setelah China bergabung dengan WTO pada tahun 2001, sasarannya pun beralih ke negara tersebut. Kebijakan yang diterapkan Trump selama masa jabatannya bukanlah hal baru dan memiliki preseden dalam sejarah Amerika.
Lantas, siapa saja tokoh intelektual yang mendukung visi pro-tarif Trump? Secara politik, mayoritas anggota Partai Republik cenderung mendukung proteksionisme ekonomi dan kebijakan tarif untuk melindungi industri dalam negeri, meskipun intensitasnya bervariasi. Pada tahun 1934, ketika Menteri Luar Negeri era New Deal, Cordell Hull, berupaya menghapus aturan proteksionis Smoot-Hawley Act, ia menghadapi perlawanan dari kubu Republik. Pemerintahan Roosevelt hanya berhasil memberlakukan Reciprocal Tariff Agreement Act (RTAAs) untuk jangka waktu terbatas, yang kemudian diperpanjang dengan logika yang sama melalui perdebatan sengit di Capitol Hill.
Kebijakan pro-tarif sebenarnya telah ada sejak awal berdirinya Amerika Serikat, seperti yang tertuang dalam laporan Alexander Hamilton tahun 1791, "Report on Manufactures". Hamilton berpendapat bahwa Amerika hanya dapat maju jika memprioritaskan sektor manufaktur dan melindunginya dari serbuan produk manufaktur Inggris. Meskipun saran Hamilton disetujui oleh Parlemen, isu proteksi manufaktur menjadi salah satu perbedaan mendasar antara Hamilton dan Thomas Jefferson, yang kemudian memicu kemunculan dua kubu politik besar di Amerika, yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik. Jefferson lebih memilih kebijakan tarif rendah untuk membantu petani Amerika menjual hasil pertanian mereka ke Inggris.
Namun, tidak semua anggota Partai Republik selalu pro-tarif, dan tidak semua petinggi Partai Demokrat pro-perdagangan bebas. Perbedaan utama terletak pada preferensi kebijakan: Partai Republik cenderung memilih tarif, sementara Partai Demokrat lebih menyukai intervensi pemerintah tanpa tarif, seperti subsidi dan insentif untuk industri dalam negeri.
Menariknya, hingga Trump mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2015, ia tidak memiliki penasihat ekonomi. Ia menyuarakan pandangannya sendiri berdasarkan preferensi pribadi terhadap impor dari Jepang dan China. Saat mencalonkan diri sebagai presiden, Trump meminta menantunya, Jared Kushner, untuk mencari penasihat ekonomi yang sejalan dengan visinya yang anti-China dan pro-tarif. Kushner menemukan buku berjudul "Death by China" karya Peter Navarro, yang sangat kritis terhadap China dan merekomendasikan kebijakan tarif sebagai solusi. Kushner kemudian menghubungi Navarro dan memintanya menjadi penasihat ekonomi Trump.
Selain Navarro, Robert Lighthizer juga memiliki pandangan yang sejalan dengan Trump. Lighthizer, seorang pengacara yang lama membela asosiasi manufaktur Amerika, menjabat sebagai kepala United States Trade Representative (USTR) di era Trump. Dalam buku terbarunya, "No Trade is Free", Lighthizer menyampaikan keluhannya tentang deindustrialisasi yang dialami Amerika akibat investasi yang pindah ke China dan Meksiko. Ia mengakui bahwa pengangguran di Amerika tidak hanya disebabkan oleh kebijakan dagang, tetapi juga oleh perkembangan teknologi. Lighthizer berpendapat bahwa kebijakan dagang harus mengakomodasi kondisi ini dengan menerapkan tarif yang berimbang untuk mendorong hubungan dagang yang adil.
Lighthizer menyoroti bahwa jutaan pekerja sektor manufaktur Amerika kehilangan pekerjaan karena investasi beralih ke negara-negara dengan biaya tenaga kerja murah, yang kemudian mengirimkan kembali produk mereka ke Amerika (intrafirm trade). Kebijakan tarif tinggi ala Trump bertujuan untuk menarik kembali investor ke Amerika atau memaksa perusahaan asing untuk membangun pabrik di Amerika jika ingin menjual produk mereka tanpa terkena tarif tinggi.
Di era Obama, sinyal deindustrialisasi diatasi dengan program "Trade Adjustment Program (TAP)" untuk menyelamatkan pekerja yang terkena PHK. Namun, program ini menghadapi kendala teknis, seperti usia pekerja dan lokasi tempat tinggal mereka. Program serupa di Finlandia dan Denmark, seperti kebijakan "Flexsecurity", dinilai lebih berhasil karena pemerintah memberikan dukungan kepada pekerja yang terkena PHK akibat disrupsi teknologi dan membantu perusahaan untuk meningkatkan teknologi agar tetap kompetitif.
Selain Peter Navarro dan Robert Lighthizer, Steve Bannon, tokoh anti-globalisasi beraliran superkanan, juga ikut menyemarakkan semangat populisme Trump. Bannon mendorong Trump untuk tidak hanya mengenakan tarif, tetapi juga mengubah tatanan perdagangan dunia yang dianggap dipengaruhi oleh gaya dan model perdagangan China.
Memahami pemikiran tokoh-tokoh ini membantu memahami pemikiran Trump tentang perdagangan dunia. Meskipun hampir tidak ada ekonom ternama yang mendukung Trump, visi pro-tarif dan proteksionisme selalu ada di Amerika sejak awal berdirinya negara tersebut. Visi ini mungkin kalah di tataran elektoral, tetapi tidak pernah sepenuhnya mati. Kemenangan Trump memberikan angin segar bagi sayap proteksionisme ini.
Kebijakan dagang Amerika tidak hanya didasarkan pada rasionalitas ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh kepentingan politik dalam negeri, politik internasional, ekonomi dalam negeri, dan ekonomi internasional. Kebijakan dagang Trump masih berada dalam koridor yang selama ini berlaku. Oleh karena itu, negara seperti Indonesia perlu memahami logika yang berlaku di Amerika dan menyesuaikan diri dengan itu.