Kesiapan Teknologi Informasi Bank Daerah Dipertanyakan Pasca Insiden JakOne Mobile

Transformasi digital telah mengubah lanskap perbankan secara fundamental dalam satu dekade terakhir. Data menunjukkan bahwa mayoritas interaksi nasabah kini beralih ke kanal digital. Lembaga perbankan dituntut untuk terus berinovasi serta menjamin kelangsungan dan keamanan layanan digitalnya. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat kerentanan sistem teknologi informasi (TI) yang menjadi perhatian serius.

Gangguan layanan bukan hanya sekadar masalah teknis, tetapi juga berpotensi merusak reputasi dan kepercayaan publik. Insiden yang dialami Bank DKI baru-baru ini menjadi contoh nyata dan pelajaran berharga bagi seluruh lembaga keuangan, terutama bank daerah. Pada awal April 2025, aplikasi mobile banking Bank DKI, JakOne Mobile, mengalami gangguan yang menyebabkan ribuan nasabah tidak dapat mengakses layanan perbankan. Masalah ini muncul di tengah meningkatnya ketergantungan masyarakat pada transaksi digital untuk berbagai keperluan.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh "permasalahan sistem teknologi informasi" yang sedang dievaluasi. Gubernur berjanji dana nasabah tetap aman dan berupaya melakukan perbaikan. Sebagai langkah cepat, Direktur Teknologi Informasi Bank DKI dicopot dari jabatannya. Insiden ini memicu keresahan publik dan memunculkan pertanyaan tentang kesiapan bank daerah dalam mengelola transformasi digital secara profesional dan berkelanjutan.

Digitalisasi perbankan melibatkan berbagai aspek penting, mulai dari sistem inti, integrasi API, enkripsi data, hingga keamanan siber. Kerusakan pada salah satu elemen ini dapat menimbulkan dampak yang luas. Risiko sistemik akibat kegagalan infrastruktur digital di sektor keuangan dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mencatat peningkatan laporan gangguan layanan digital bank, baik karena bug, kelebihan beban server, maupun serangan siber.

Kasus Bank DKI menggarisbawahi bahwa digital banking bukan hanya tentang tampilan antarmuka, tetapi juga mencakup seluruh rantai operasional. Ketahanan teknologi (IT resilience) harus menjadi prioritas utama dalam tata kelola bank digital. Manajemen risiko teknologi harus setara pentingnya dengan risiko kredit dan pasar. Ketika sistem mobile banking tidak berfungsi, dampaknya meluas di luar ketidaknyamanan pengguna. Kepercayaan adalah mata uang utama dalam dunia digital. Kegagalan sistem dapat merusak loyalitas nasabah, terutama jika bank tidak transparan atau lambat dalam memberikan penjelasan. UMKM yang mengandalkan mobile banking untuk transaksi harian dapat mengalami gangguan arus kas, sementara karyawan yang menunggu gaji juga bisa terdampak.

Reputasi lembaga dapat menurun, yang pada gilirannya memengaruhi kredibilitas pemerintah daerah. Bank DKI bukan hanya sebuah lembaga keuangan, tetapi juga bagian dari citra BUMD Jakarta. Gangguan ini menarik perhatian dan berpotensi memiliki implikasi politik. Bank daerah memainkan peran penting dalam inklusi keuangan, tetapi menghadapi tantangan besar, seperti sumber daya TI yang terbatas, kurangnya SDM digital yang kompeten, ketergantungan pada vendor eksternal tanpa kontrol penuh, dan budaya birokrasi yang kurang fleksibel.

Menurut laporan BPK, beberapa BUMD perbankan di Indonesia belum sepenuhnya mengadopsi standar tata kelola TI yang sesuai dengan kerangka kerja internasional seperti COBIT atau ISO 27001. Hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap gangguan dan serangan digital. Dari kasus Bank DKI, ada beberapa pelajaran penting yang dapat diambil sebagai langkah awal reformasi:

  • Audit TI secara menyeluruh dan berkala.
  • Penguatan SDM dan kepemimpinan digital.
  • Transparansi dan komunikasi krisis.
  • Kolaborasi dengan regulator dan fintech.

Kasus Bank DKI adalah peringatan bahwa digitalisasi tanpa ketahanan adalah bom waktu. Krisis ini, jika ditangani dengan serius, dapat menjadi titik balik menuju perbankan digital yang lebih kuat dan terpercaya. Penting bagi publik untuk tetap kritis dan menuntut transparansi dari lembaga keuangan. Regulator harus memastikan bahwa bank-bank daerah memiliki fondasi teknologi yang kokoh, bukan hanya aplikasi dengan desain menarik. Bagi Bank DKI, ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar siap menjadi garda depan keuangan modern untuk warga Jakarta.