KPK Perpanjang Larangan Bepergian ke Luar Negeri Bagi Miryam S. Haryani Terkait Kasus E-KTP

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memperpanjang masa pencegahan bepergian ke luar negeri terhadap mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2009-2014, Miryam S. Haryani. Perpanjangan ini terkait dengan penyidikan kasus dugaan korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) yang melibatkan sejumlah nama besar.

Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, mengonfirmasi bahwa pencegahan terhadap Miryam S. Haryani telah diperpanjang sejak 9 Februari 2025 dan akan berlangsung hingga 9 Agustus 2025. Langkah ini diambil untuk memastikan Miryam S. Haryani tetap berada di Indonesia selama proses penyidikan dan tidak melarikan diri ke luar negeri.

Pencegahan ini merupakan perpanjangan dari pencegahan sebelumnya yang diajukan oleh KPK pada Juli 2024 dan berlaku selama enam bulan. Keputusan perpanjangan ini tertuang dalam Keputusan Pimpinan KPK Nomor 983 Tahun 2024.

Miryam S. Haryani sebelumnya telah divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan pada November 2017. Vonis tersebut dijatuhkan karena Miryam terbukti bersalah memberikan keterangan palsu dalam persidangan terkait kasus proyek e-KTP pada April 2017. Miryam telah menjalani hukuman tersebut dan dinyatakan bebas.

Namun, kasus Miryam tidak berhenti sampai di situ. Sejak 2019, KPK kembali menetapkan Miryam sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP yang dikenal dengan kode 'uang jajan'.

Wakil Ketua KPK saat itu, Saut Situmorang, mengungkapkan bahwa penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan empat tersangka baru dalam kasus ini, termasuk Miryam S. Haryani. Selain Miryam, tersangka lainnya adalah Isnu Edhi Wijaya (Direktur Utama Perum Percetakan Negara/Ketua Konsorsium PNRI), Husni Fahmi (Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP, PNS BPPT), dan Paulus Tannos (Direktur Utama PT Sandipala Arthapura).

Dalam penyidikan lebih lanjut, KPK menduga bahwa Miryam, saat menjabat sebagai anggota DPR periode 2014-2019, meminta uang sebesar USD 100 ribu kepada Irman, yang saat itu menjabat sebagai Dirjen Dukcapil Kemendagri, untuk membiayai kunjungan kerja Komisi II ke beberapa daerah. Uang tersebut kemudian diserahkan kepada perwakilan Miryam.

KPK juga menduga bahwa Miryam menerima beberapa kali uang dari Irman dan Sugiharto sepanjang tahun 2011-2012. Total uang yang diterima diperkirakan mencapai USD 1,2 juta. Kasus ini terus bergulir dan KPK terus melakukan pendalaman untuk mengungkap seluruh pihak yang terlibat dalam dugaan korupsi proyek e-KTP.

Proyek e-KTP yang bertujuan untuk menciptakan sistem identifikasi tunggal bagi seluruh warga negara Indonesia, justru menjadi lahan korupsi yang merugikan negara hingga triliunan rupiah. Kasus ini menjadi salah satu kasus korupsi terbesar yang ditangani oleh KPK dan melibatkan banyak pejabat negara dan pengusaha.