Erosi Kepercayaan Publik: Ketika Komunikasi Pemerintah Gagal Menyentuh Hati Rakyat

Era digital membawa konsekuensi besar bagi para pemangku kebijakan. Setiap perkataan dan tindakan pejabat publik kini tak hanya dinilai dari substansi, melainkan juga dari kepekaan sosial yang melekat padanya. Komunikasi pemerintah bukan lagi sekadar diseminasi informasi program dan kebijakan, tetapi telah menjelma menjadi barometer hubungan antara negara dan warganya. Ketika komunikasi tersebut terdistorsi, dampaknya meluas, bukan hanya menjadi riak-riak opini di media sosial, tetapi juga mengikis kepercayaan publik yang telah lama terkoyak oleh berbagai persoalan sosial dan ekonomi.

Beberapa waktu lalu, pernyataan seorang pejabat publik terkait teror yang dialamatkan kepada sebuah media massa menuai kecaman. Alih-alih menunjukkan empati dan dukungan terhadap kebebasan pers, komentar tersebut justru dianggap meremehkan ancaman serius yang dihadapi jurnalis. Reaksi yang kurang sensitif ini memicu gelombang kritik dan kekecewaan di kalangan masyarakat sipil.

Kasus lain muncul ketika seorang menteri menyampaikan prioritas program pemerintah. Di tengah isu lapangan pekerjaan yang sulit, pernyataan ini dianggap kurang relevan dengan kebutuhan mendesak masyarakat. Publik merasa aspirasi mereka tidak didengar.

Tak hanya itu, pernyataan seorang pejabat agama terkait permintaan tunjangan hari raya (THR) oleh organisasi masyarakat (ormas) juga menuai kontroversi. Di saat pemerintah berupaya memberantas praktik pungutan liar, pernyataan tersebut justru dinilai melegitimasi tindakan yang merugikan dunia usaha. Hal ini diperkuat dengan data investasi yang batal akibat adanya ormas yang melakukan pemaksaan keterlibatan dalam proyek.

Dramaturgi dan Interaksi Simbolik: Panggung Komunikasi Pejabat Publik

Dalam konteks komunikasi publik, teori dramaturgi Erving Goffman menjelaskan bahwa pejabat publik adalah aktor yang tampil di panggung sosial dengan skrip dan audiens. Namun, seringkali para pejabat ini lupa bahwa mereka sedang berinteraksi di ruang publik, bukan ruang privat. Setiap pernyataan mereka menjadi bagian dari pertunjukan negara yang disaksikan oleh jutaan mata, dan di era digital ini, tidak ada kesempatan untuk merevisi naskah setelah dialog dilontarkan.

Teori interaksi simbolik George Herbert Mead menekankan bahwa makna sosial dibangun melalui interaksi dan simbol yang digunakan. Ketika simbol-simbol ini disalahartikan atau disederhanakan melalui candaan atau ucapan sembrono, pesan yang seharusnya menyampaikan kepekaan justru menjadi bias. Sebuah simbol bukan sekadar objek fisik, tetapi membawa pesan teror terhadap kebebasan berpendapat. Begitu pula dengan permintaan THR, bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga dapat mencerminkan tekanan sosial terhadap pelaku usaha yang rentan.

Absennya Empati: Akar Kegagalan Komunikasi Pemerintah

Lalu, di mana letak kegagalan komunikasi pemerintah dalam semua ini? Jawabannya terletak pada absennya empati sebagai fondasi komunikasi publik. Seorang pejabat tidak cukup hanya mengandalkan keahlian teknis; ia harus mampu menyampaikan pesan dengan kesadaran sosial dan kepekaan budaya. Empati menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dan rakyat, memungkinkan terjalinnya dialog yang konstruktif dan saling pengertian.

Negara, Media, dan Tanggung Jawab Moral di Era Digital

Dalam model komunikasi dua arah simetris dari Grunig dan Hunt, komunikasi yang efektif menempatkan pejabat dan publik dalam posisi yang sama, saling mendengarkan, memahami, dan dipahami. Namun, jika komunikasi justru menciptakan jarak emosional antara pemerintah dan rakyat, maka hubungan kekuasaan kehilangan esensi demokrasinya. Negara adalah simbol nilai keadilan, moralitas, dan keteladanan. Oleh karena itu, cara pejabat negara berkomunikasi membentuk cara berpikir masyarakat. Di era media sosial, tanggung jawab moral pejabat untuk berbicara dengan bijak dan empatik menjadi semakin besar, karena satu kalimat yang tidak tepat dapat menjadi pemicu hilangnya kepercayaan publik.

Kita tidak mengharapkan para pejabat menjadi orator ulung, tetapi setidaknya mereka mampu memilih kata-kata dengan cermat. Karena di balik setiap kata, ada harapan rakyat yang ingin didengar. Komunikasi bukan hanya tentang apa yang dikatakan, tetapi juga tentang apa yang dirasakan oleh mereka yang mendengarkannya.