Dana Negara Mengalir ke Danantara: Analisis Risiko dan Pertanyaan atas Peran sebagai Agen Pembangunan
Dana Negara Mengalir ke Danantara: Analisis Risiko dan Pertanyaan atas Peran sebagai Agen Pembangunan
Baru-baru ini, Danantara, Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia, telah menarik perhatian publik dan internasional. Dengan aset senilai 900 miliar dolar AS (sekitar Rp 14.000 triliun), Danantara secara otomatis masuk dalam jajaran sepuluh SWF terbesar dunia. Namun, di balik angka fantastis tersebut, tersimpan pertanyaan mendasar mengenai pengelolaan dan dampaknya terhadap perekonomian nasional. Salah satu yang paling menonjol adalah ketergantungan Danantara terhadap Penyertaan Modal Negara (PMN) dari pemerintah, meskipun memiliki aset yang tergolong sangat besar.
Pemerintah berencana menggelontorkan dana PMN yang signifikan kepada Danantara, diperkirakan melebihi Rp 100 triliun. Bahkan, terdapat proyeksi yang menyebutkan angka mencapai Rp 300 triliun per tahun selama lima tahun, atau bahkan sepuluh tahun jika memperhitungkan skenario politik tertentu. Total dana yang akan disalurkan bisa mencapai angka fantastis, yaitu Rp 3.000 triliun. Pertanyaan krusial yang muncul adalah: mengapa SWF sebesar Danantara masih membutuhkan suntikan dana negara dalam jumlah yang sangat besar?
Jawabannya terletak pada likuiditas aset. Aset Danantara, yang berasal dari tujuh BUMN, terdiri sebagian besar dari aset tidak lancar (illiquid assets). Aset perbankan misalnya, terutama berbentuk kredit kepada pihak ketiga. Aset BUMN non-perbankan juga berupa aset fisik dan finansial yang tidak mudah dikonversi menjadi kas. Untuk mengoptimalkan aset-aset ini, diperlukan strategi 'financial engineering' yang kompleks, seperti sekuritisasi aset, yang akan menimbulkan kewajiban finansial baru bagi Danantara.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait transparansi dan akuntabilitas. Pasca revisi UU BUMN, keuangan BUMN tidak lagi sepenuhnya terpisah dari keuangan negara. Artinya, jika Danantara mengalami kerugian investasi, hal tersebut tidak secara otomatis menjadi kerugian negara. Implikasinya, pengawasan dan pertanggungjawaban publik terhadap penggunaan dana negara menjadi kabur. Proses ini bisa ditafsirkan sebagai 'pengambilalihan anggaran negara' secara halus, yang mengurangi kontrol publik atas pengelolaan dana negara yang pada akhirnya berasal dari rakyat.
Klaim Danantara sebagai 'agen pembangunan' juga patut dipertanyakan. Sebagai SWF, Danantara seharusnya berorientasi profit. Investasi di sektor riil, yang seringkali terkait dengan pembangunan, cenderung berisiko dan menghasilkan pengembalian yang lambat, berbeda dengan investasi di pasar modal. SWF besar dunia pun umumnya menghindari investasi langsung di sektor riil. Oleh karena itu, menjadikan Danantara sebagai mesin uang jangka panjang, seperti Temasek di Singapura, mungkin menjadi strategi yang lebih realistis.
Menggunakan Danantara untuk membiayai proyek pembangunan yang tidak berorientasi profit, berpotensi menimbulkan kerugian dan menguras kapasitas fiskal negara. Dana yang dialokasikan kepada Danantara melalui PMN akan mengurangi kemampuan pemerintah untuk menjalankan program-program pembangunan lainnya. Untuk mengimbangi hal ini, pemerintah mungkin perlu menambah utang negara, yang pada gilirannya akan memperbesar defisit anggaran dan meningkatkan beban utang jangka panjang.
Kesimpulannya, kehadiran Danantara sebagai SWF raksasa perlu dikaji secara kritis. Meskipun menawarkan potensi besar, penyertaan dana negara yang besar tanpa jaminan akuntabilitas yang kuat dan pemahaman yang jelas atas peran Danantara sebagai agen pembangunan, berpotensi menimbulkan risiko finansial yang signifikan bagi negara. Penting untuk melakukan pengawasan yang ketat dan memastikan penggunaan dana tersebut benar-benar untuk kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat, bukan sekadar mengejar keuntungan semata.