Jepang Pertimbangkan Bantuan Langsung Tunai Rp 5,8 Juta di Tengah Dampak Tarif AS, Survei Ungkap Penolakan Publik
Pemerintah Jepang tengah mempertimbangkan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebesar 50.000 yen atau sekitar Rp 5,8 juta kepada setiap warganya. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap potensi dampak ekonomi dari penerapan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat (AS). Namun, rencana ini menuai penolakan dari sebagian besar masyarakat Jepang.
Perdana Menteri Shigeru Ishiba telah menginstruksikan kabinetnya untuk merumuskan paket kebijakan ekonomi darurat yang akan dianggarkan dalam anggaran tambahan untuk tahun fiskal 2025. Tarif resiprokal sebesar 24% untuk barang-barang asal Jepang dan 25% untuk sektor otomotif diperkirakan akan meningkatkan biaya hidup sekitar 50.000 yen per orang.
BLT ini direncanakan akan diberikan tanpa memandang tingkat pendapatan penerima. Meskipun demikian, besaran pasti dan detail pelaksanaan masih dalam tahap pembahasan antara partai-partai yang tergabung dalam koalisi pemerintahan. PM Ishiba menggambarkan tarif baru dari AS sebagai "krisis nasional" dan menekankan perlunya respons cepat dari pemerintah karena kenaikan harga barang dan jasa.
Selain BLT, pemerintah juga sedang merancang kebijakan tambahan untuk meredam dampak tarif AS. Kebijakan tersebut mencakup perluasan subsidi untuk membantu perusahaan mempertahankan lapangan kerja. Pemerintah berharap anggaran tambahan ini dapat disahkan dalam masa sidang parlemen yang berakhir pada Juni.
Namun, rencana pemberian BLT ini tidak sepenuhnya didukung oleh masyarakat. Survei yang dilakukan oleh The Mainichi menunjukkan bahwa sekitar 57% warga Jepang tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Bahkan, di antara pendukung Partai Demokrat Liberal (LDP) yang berkuasa, 49% menolak rencana ini. Penentang kebijakan berpendapat bahwa pemberian BLT bermotif politik menjelang pemilu Majelis Tinggi.
Sebagian masyarakat menilai bahwa pemotongan pajak akan lebih efektif daripada pemberian BLT. Di sisi lain, pendukung kebijakan ini menekankan kesulitan hidup yang akan dihadapi masyarakat jika tarif resiprokal benar-benar diterapkan.
Menjelang pemilu Majelis Tinggi, pejabat dari partai koalisi pemerintah gencar mempromosikan pemberian BLT. Kepala Sekretaris Kabinet, Yoshimasa Hayashi, bahkan meminta Ketua Dewan Riset Kebijakan LDP untuk menyusun usulan kebijakan dari partai yang berkuasa.
Sekretaris Jenderal Komeito, Makoto Nishida, menekankan bahwa BLT menjadi prioritas karena dapat diberikan lebih cepat daripada pemotongan pajak yang memerlukan revisi undang-undang. Nishida menyatakan bahwa kebijakan untuk meningkatkan permintaan domestik akan membantu menurunkan hambatan non-tarif seperti yang diminta oleh pemerintahan AS.