Skandal Pengelolaan Sampah Tangsel: Dugaan Korupsi Berujung Penimbunan Ilegal di Wilayah Tetangga

Skandal korupsi mengguncang pengelolaan sampah di Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, dengan nilai fantastis mencapai Rp 75,9 miliar. Modus operandi yang terungkap sungguh mencengangkan: para tersangka diduga kuat menimbun sampah secara ilegal di wilayah kota-kota tetangga demi memangkas biaya operasional.

Kasus ini menyeret tiga nama sebagai tersangka utama, yaitu Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pemerintah Kota (Pemkot) Tangsel, Wahyunoto Lukman; Kepala Bidang (Kabid) Kebersihan, TB Apriliadhi Kusumah; serta seorang pihak swasta berinisial SYM, yang merupakan direktur dari PT EPP. Ketiganya diduga melakukan praktik kecurangan dalam proses tender dengan cara berkolusi dan menciptakan ilusi bahwa perusahaan mereka mampu menangani volume sampah yang ada.

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten, Rangga Adekresna, mengungkapkan bahwa penetapan Wahyunoto sebagai tersangka dilakukan setelah tim jaksa melakukan penahanan terhadap SYM, direktur PT EPP. Kendati demikian, Rangga belum merinci secara detail mengenai total kerugian negara yang diakibatkan oleh praktik korupsi ini.

"Penyidik Kejaksaan Tinggi Banten kembali melakukan penahanan terhadap Tersangka WL, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan, yang kasus posisinya masih sama seperti kemarin," kata Rangga kepada wartawan, Selasa (15/4/2025).

Investigasi lebih lanjut mengungkap bahwa PT EPP, yang semula hanya bergerak di bidang pengangkutan sampah, kemudian 'disulap' menjadi perusahaan pengelolaan sampah atas permintaan Wahyunoto. SYM diminta untuk mengurus Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) agar PT EPP memenuhi syarat sebagai perusahaan pengelola sampah.

"Dalam mempersiapkan proses pengadaan pekerjaan untuk memenangkan PT EPP dalam proses tender, WL telah bersekongkol dengan SYM," ujar Rangga.

Tender proyek senilai Rp 75,9 miliar tersebut kemudian dipecah menjadi dua bagian dan dieksekusi oleh PT EPP. Rinciannya adalah anggaran sebesar Rp 50,7 miliar untuk pengangkutan sampah dan Rp 25,2 miliar untuk pengelolaan sampah.

Untuk memuluskan aksinya, kedua tersangka kemudian mendirikan sebuah perusahaan 'bayangan' bernama CV Bank Sampai Induk Rumpintama (BSIR). Wahyunoto bahkan menunjuk tukang kebunnya, Sulaeman, sebagai direktur operasional, serta Agus Syamsudin sebagai direktur utama. Kesepakatan ini dibuat pada Januari 2024 di Cibodas, Rumpin, Bogor.

CV BSIR ini, menurut Rangga, sengaja dirancang oleh kedua tersangka sebagai sub kontraktor untuk item pengelolaan sampah. Padahal, baik CV BSIR maupun PT EPP sama-sama tidak memiliki kapasitas maupun pengalaman yang memadai dalam pengelolaan sampah.

Modus operandinya adalah dengan menimbun sampah di lahan yang ternyata milik Wahyunoto Lukman. Wahyunoto bersama PT EPP mendirikan CV Bank Sampah Induk Rumpintama (BSIR) dan menempatkan tukang kebunnya sebagai direktur operasional.

Namun, rencana jahat ini tidak berjalan mulus. Lahan yang disiapkan Wahyunoto untuk menimbun sampah di wilayah Bogor mendapat penolakan keras dari warga sekitar. Nurhimawan mengatakan, korupsi pengangkutan dan pengelolaan sampah pada tahun 2024 itu tidak terkait dengan kerja sama pengelolaan sampah dengan Kota Serang.

Akibatnya, sampah dari Tangsel terpaksa dibuang secara ilegal ke berbagai daerah, seperti Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Sampah Tangsel dibuang secara ilegal di Desa Cibodas dan Desa Sukasari di Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kemudian ada Desa Gintung dan Desa Jatiwaringin Kabupaten Tangerang, Banten dan di daerah Kabupaten Bekasi.

Lahan-lahan tersebut merupakan lahan milik perorangan, bukan milik pemerintah. Para pemilik lahan bersedia menjadikan lahan mereka sebagai tempat pembuangan sampah dengan imbalan tertentu.

Pemkot Tangsel, melalui kerja samanya dengan PT EPP, hanya membuang sampah begitu saja ke lahan kosong atau dengan sistem open dumping. Tidak ada proses pengelolaan lebih lanjut, padahal praktik pembuangan seperti ini jelas melanggar regulasi dan ketentuan yang berlaku.

Proyek pengangkutan dan pengelolaan sampah ini juga dilakukan secara e-purchasing. HPS-nya juga diatur oleh para tersangka kasus ini, bahkan Pemkot menyusun penetapan HPS berdasarkan data yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.