Investasi Pariwisata di Labuan Bajo Dikritik DPRD: Masyarakat Lokal Terpinggirkan dan Ekosistem Terancam

Gelombang investasi pariwisata yang deras mengalir ke Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, menuai kritik tajam dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Manggarai Barat. Para wakil rakyat menyoroti dampak negatif pembangunan yang berpotensi menggerus hak-hak masyarakat adat dan merusak keseimbangan ekologis wilayah tersebut.

Kanisius Jehabut, anggota DPRD Manggarai Barat, mengungkapkan kekecewaannya terhadap model pembangunan pariwisata yang dianggapnya hanya menguntungkan investor besar, sementara masyarakat lokal justru menjadi korban. Ia menuding bahwa investasi yang mengatasnamakan kemajuan, justru membawa dampak sosial dan lingkungan yang merugikan.

"Pembangunan infrastruktur pariwisata, mulai dari Taman Nasional Komodo hingga kawasan pesisir, dilakukan atas nama investasi. Namun, siapa yang sebenarnya menikmati hasilnya? Bukan masyarakat Labuan Bajo, dan bukan pula pemerintah daerah," tegas Kanisius.

Menurutnya, masyarakat lokal kini harus menghadapi berbagai permasalahan seperti:

  • Gunungan sampah yang terus bertambah
  • Pencemaran laut yang semakin parah
  • Kemacetan lalu lintas yang tak terhindarkan
  • Harga tanah yang melambung tinggi dan tidak terjangkau

"Ruang hidup kami semakin sempit. Kami merasa seperti menjadi tamu di rumah sendiri," keluhnya.

Kanisius juga menyoroti hilangnya wewenang pemerintah daerah dalam mengatur sektor pariwisata sejak pengambilalihan kawasan konservasi oleh pemerintah pusat. Ia menyayangkan bahwa pemerintah daerah tidak mendapatkan bagian dari pendapatan pariwisata, sementara harus menanggung semua risiko dan dampak negatifnya.

"Tidak ada satu rupiah pun dari tiket masuk Taman Nasional Komodo yang masuk ke kas daerah. Padahal, kami yang harus menanggung semua dampak lingkungannya," ujarnya.

Bahkan, pemerintah daerah kini tidak memiliki wewenang untuk mengatur kuota kapal wisata atau menolak pembangunan di atas terumbu karang. Kanisius menyebut kondisi ini sebagai "kolonialisme gaya baru".

Ia juga menyoroti regulasi yang dinilainya membuka celah bagi kerusakan ekologis. Meskipun Undang-Undang melarang pembangunan di sepadan pantai, aturan turunan justru memberikan peluang bagi investor untuk membangun di wilayah tersebut.

"Nelayan dilarang melaut di wilayah yang mereka jaga secara turun-temurun, tetapi investor justru diperbolehkan membangun resor di atas pantai dan terumbu karang," kritiknya.

Kondisi paling ironis, menurut Kanisius, terjadi di Pulau Komodo. Tanah adat diklaim sebagai zona investasi, sehingga masyarakat kesulitan mengakses laut yang telah mereka jaga sejak lama. Bahkan, komodo seringkali berkeliaran hingga ke halaman rumah warga dan menggigit.

"Yang diprioritaskan justru konservasi satwa, bukan keselamatan warga," tegasnya.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan di pulau konservasi tersebut nyaris tidak tersentuh pembangunan. Ia mempertanyakan arti pembangunan jika masyarakatnya justru terusir dan hak-haknya diabaikan.

"Apa arti pembangunan jika rakyatnya terusir? Apa arti konservasi jika hanya untuk membungkam masyarakat adat?" tanyanya.

Sebagai bentuk perlawanan, Kanisius menyampaikan lima tuntutan utama:

  • Menghentikan pembangunan di pesisir dan sepadan pantai yang merusak ekosistem.
  • Membentuk kerja sama resmi lintas pemerintahan dalam pengelolaan kawasan konservasi.
  • Mendistribusikan pendapatan pariwisata secara adil ke pemerintah daerah.
  • Melindungi hak masyarakat adat atas tanah, laut, dan ruang sosialnya.
  • Menghadirkan layanan dasar di pulau-pulau konservasi, khususnya pendidikan dan kesehatan.

Kanisius menekankan bahwa Labuan Bajo dan Pulau Komodo bukan sekadar etalase pariwisata, melainkan rumah bagi masyarakat Manggarai Barat yang harus dilindungi hak-haknya.