Oriental Circus Indonesia Menjawab Tuduhan Eksploitasi: Sejarah, Disiplin, dan Dugaan Pemerasan
OCI Tanggapi Tuduhan Eksploitasi Mantan Pemain Sirkus
Oriental Circus Indonesia (OCI) akhirnya angkat bicara mengenai polemik yang melibatkan mantan pemain sirkus mereka. Tony Sumampau, Founder OCI dan Komisaris Taman Safari Indonesia, menjelaskan bahwa OCI lahir dari situasi politik yang bergejolak pasca-G30S pada tahun 1966. Saat itu, kebutuhan hiburan bagi para prajurit yang bertugas menjaga keamanan memicu terbentuknya kelompok akrobatik yang kemudian dikenal sebagai Oriental Circus.
"Waktu itu ABRI membutuhkan hiburan. Kostrad memiliki band, dan kami memiliki tim akrobatik. Kami bergabung menjadi satu, berkeliling ke berbagai daerah menggunakan pesawat Hercules, tampil di markas-markas militer, mulai dari Tasikmalaya hingga Jawa Tengah," ungkap Tony dalam jumpa pers.
Awal Mula Keterlibatan Anak-Anak dalam Sirkus
Seiring waktu, Tony merasa performa tim sirkus di bawah OCI kurang optimal. Akhirnya, orang tua Tony mengajak anak-anak perempuan dari sebuah panti asuhan di kawasan Kalijodo, Jakarta Utara, untuk bergabung. "Anak-anak itu dibesarkan sejak bayi. Pada usia 6-7 tahun, mereka baru diajak bergabung dan mulai berlatih di sirkus," jelas Tony.
Era Disiplin Keras dan Bantahan Kekerasan
Tony mengakui bahwa pada era 1970-1980, metode pelatihan di OCI cukup keras dibandingkan dengan standar saat ini. "Pada era 70-an dan 80-an, memang ada tindakan disiplin untuk mendisiplinkan anak-anak. Bisa dibilang, eranya memang keras," kata Tony. Ia mengklaim bahwa pendisiplinan keras tersebut wajar dalam konteks sosial pada masa itu.
Namun, Tony membantah adanya praktik eksploitasi dan perbudakan. Ia menegaskan bahwa latihan sirkus memang membutuhkan kedisiplinan tinggi yang terkadang melibatkan tindakan tegas, namun hal itu wajar dalam dunia olahraga dan bukan bentuk kekerasan yang disengaja. "Kalau sampai dipukul pakai besi, itu tidak mungkin. Jika mereka luka, justru tidak bisa tampil atraksi," tegasnya. Tony juga menepis tudingan penyiksaan, menyebutnya sebagai pernyataan sensasional yang tidak logis dan bertujuan menarik simpati publik.
Dugaan Pemerasan dan Langkah Hukum
Tony menduga ada pihak yang berusaha melakukan pemerasan terhadapnya, dengan memanfaatkan mantan pemain sirkus untuk membuat narasi negatif. Ia mencurigai adanya provokator yang sengaja menggiring para mantan pemain sirkus untuk membuat narasi negatif. "Kita sudah tahu siapa provokatornya, karena sebelumnya dia sempat meminta sesuatu kepada kami," ujar Tony.
OCI mengklaim telah mengantongi bukti-bukti terkait dugaan upaya pemerasan yang menuntut hingga lebih dari Rp 3,1 miliar. Namun, Tony memilih diam agar tidak melukai perasaan mantan anak didiknya. Pihaknya akan menempuh jalur hukum terhadap pihak yang memanfaatkan mereka. Sementara itu, Vice President Legal & Corporate Secretary Taman Safari Indonesia, Barata Mardikoesno, menegaskan bahwa persoalan ini tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia.
Laporan Polisi dan Rekomendasi Komnas HAM
Pengacara para korban, Muhammad Soleh, mengungkapkan bahwa salah satu kliennya, Fifi, pernah melaporkan dugaan pelanggaran ke Mabes Polri pada tahun 1997, namun kasus tersebut dihentikan karena kurangnya bukti. Komisioner Komnas HAM RI, Uli Parulian Sihombing, mengatakan bahwa pihaknya sempat memberikan saran kepada para mantan pemain sirkus OCI untuk menempuh jalur hukum dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Komnas HAM juga menyatakan adanya pelanggaran HAM atas hak-hak anak, termasuk hak untuk mengetahui asal usul, identitas, dan hubungan kekeluargaan, serta hak untuk bebas dari eksploitasi ekonomi.