Kontroversi Gelar Pahlawan Nasional Soeharto: UGM Ingatkan Pentingnya Konteks Sejarah

Isu pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto kembali mencuat, menyusul usulan dari Kementerian Sosial bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), pakar, serta budayawan. Usulan ini tidak lepas dari perdebatan sengit, mengingat sejumlah kebijakan dan peristiwa kelam yang terjadi selama era kepemimpinannya.

Menanggapi polemik yang berkembang di masyarakat, sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Agus Suwignyo, memberikan pandangannya terkait hal tersebut. Agus mengakui bahwa Soeharto memenuhi kriteria formal untuk menjadi seorang pahlawan nasional.

"Jika kita melihat kriteria dan persyaratan yang berlaku, nama Soeharto memang memenuhi syarat untuk dipertimbangkan sebagai pahlawan nasional," ungkap Agus.

Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2012 menjadi acuan utama dalam proses pengusulan gelar pahlawan. Regulasi ini menetapkan sejumlah persyaratan umum dan khusus yang harus dipenuhi oleh calon penerima gelar, termasuk kontribusi nyata sebagai pemimpin atau pejuang serta rekam jejak yang bersih dari pengkhianatan terhadap bangsa.

Agus menyoroti peran Soeharto dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia merujuk pada keterlibatan Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berhasil membebaskan Yogyakarta dari pendudukan Belanda. Selain itu, pada tahun 1962, Soeharto juga memegang komando penting dalam operasi pembebasan Irian Barat. Kiprahnya di dunia militer dinilai memberikan kontribusi signifikan bagi kemerdekaan Indonesia.

Namun demikian, Agus mengingatkan bahwa sejarah kepemimpinan Soeharto tidak dapat dipisahkan dari berbagai kontroversi yang menyertainya.

"Kita tidak bisa mengabaikan fakta sejarah dan kontroversi yang terjadi di tahun 1965," tegasnya.

Agus menekankan pentingnya melihat sejarah Soeharto secara komprehensif dan tidak terjebak dalam pandangan hitam putih. Menurutnya, pengakuan atas kontribusi Soeharto sebagai pahlawan nasional tidak boleh mengesampingkan fakta-fakta sejarah yang problematik.

"Cara pandang sejarah terhadap Soeharto ini tidak bisa hitam putih. Sebagai pahlawan nasional, tidak bisa mengabaikan fakta sejarah. Tapi tidak bisa juga mengabaikan kontribusinya dalam kemerdekaan," papar Agus.

Lebih lanjut, Agus menyoroti potensi munculnya kritik tajam terkait pemberian gelar pahlawan kepada seseorang yang di masa lalu dituding terlibat dalam pelanggaran HAM dan pembatasan kebebasan pers. Ia menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan kategorisasi khusus jika tetap ingin memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto.

"Penulisan sejarah itu harus memperhatikan konteks, ya. Jadi semisal ada kategori pahlawan nasional dalam bidang tertentu, sehingga bisa diberikan gelar namun dalam konteks dan catatan," jelasnya.

Agus berpendapat bahwa pengkategorian ini akan memungkinkan pengakuan atas kontribusi Soeharto dalam bidang tertentu tanpa mengabaikan catatan sejarah lainnya. Ia juga mencontohkan kasus Syafruddin Prawiranegara, tokoh yang dianggap kontroversial karena terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958. Meskipun dicap sebagai pengkhianat, Syafruddin memiliki peran penting dalam pembentukan pemerintah darurat.

Agus juga mengkritik kurangnya pengakuan terhadap tokoh-tokoh di bidang seni, teknologi, dan pengetahuan. Ia mendorong adanya kajian yang lebih luas mengenai pahlawan nasional di luar latar belakang militer.