Aktivitas Aparat Keamanan di Kampus-kampus Jawa Tengah Picu Kekhawatiran Mahasiswa

Gelombang keresahan melanda kalangan mahasiswa di berbagai universitas di Jawa Tengah. Pemicunya adalah dugaan aktivitas aparat keamanan yang secara intensif melakukan pengawasan dan bahkan intervensi terhadap kegiatan-kegiatan kampus. Para mahasiswa menyampaikan keluhan mereka dan mendesak agar praktik-praktik semacam ini segera dihentikan, karena dinilai sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan akademik yang merupakan fondasi penting dalam dunia pendidikan.

Salah satu insiden yang mencuat terjadi di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang. Kala itu, Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo dan Forum Teori dan Praktik Sosial mengadakan forum diskusi yang mengangkat tema sensitif, yaitu "Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-bayang Militer bagi Kebebasan Akademik". Acara yang digelar pada Senin, 14 April 2025, tersebut sempat diwarnai dengan kehadiran seorang individu misterius yang identitasnya tidak jelas. Pria tersebut memilih duduk di barisan belakang, memicu kecurigaan di antara peserta. Ketika diminta untuk memperkenalkan diri, ia hanya menyebut nama Ukem tanpa memberikan keterangan lebih lanjut mengenai afiliasinya. Setelah itu, pria tersebut meninggalkan forum.

Tidak lama berselang, Ryan Wisnal, salah seorang panitia diskusi, beserta beberapa rekannya dipanggil oleh petugas keamanan kampus. Mereka terkejut mendapati dua orang pria, satu berseragam TNI dan satu berpakaian sipil, yang sudah menunggu. Menurut penuturan Ryan, kedua orang tersebut menanyai mereka secara detail mengenai jalannya diskusi dan meminta identitas para peserta. Kehadiran aparat di lingkungan kampus ini menimbulkan ketakutan dan kecemasan di kalangan mahasiswa. Ryan menyampaikan kekhawatirannya bahwa kondisi ini merupakan ancaman nyata terhadap kebebasan akademik, yang seharusnya menjadi ruang aman untuk bertukar pikiran dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

"Kampus adalah wadah bergulatnya ilmu pengetahuan demi kemajuan peradaban. Jika kebebasan akademik benar-benar terancam, bagaimana nasib Indonesia ke depan?" ujarnya dengan nada prihatin.

Keresahan serupa juga dialami oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dinamika UIN Salatiga. Ahmad Ramzy, anggota LPM, mengungkapkan bahwa organisasinya sempat disusupi oleh orang tak dikenal yang diduga sebagai aparat saat proses perekrutan anggota baru pada November 2024. Kecurigaan bermula ketika nomor WhatsApp yang digunakan orang tersebut teridentifikasi sebagai akun bisnis Humas Polres Salatiga. Hal ini menimbulkan kewaspadaan di antara anggota LPM.

Tidak hanya itu, pihak kampus juga disebut-sebut mulai melakukan intervensi. Beberapa petinggi kampus mendatangi pimpinan LPM dan mempertanyakan aktivitas Ramzy, yang namanya tercantum sebagai narahubung dalam surat izin Aksi Kamisan Salatiga. Ramzy menirukan ucapan salah seorang petinggi kampus yang mengatakan bahwa "Rektor UIN Salatiga tidak pernah mengajari mahasiswanya untuk berdemo."

Merespons situasi ini, LPM Dinamika kini menyusun panduan mitigasi bagi anggota, yang mencakup aspek keselamatan fisik dan psikologis. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk melindungi anggota dari potensi ancaman dan intimidasi.

Cornelius Gea, seorang aktivis dari LBH Semarang, mengungkapkan bahwa fenomena serupa juga terjadi di beberapa daerah lain di Jawa Tengah, seperti Jepara, Pekalongan, dan Tegal. Ia mencatat bahwa kasus-kasus pengawasan dan intimidasi meningkat setelah gelombang penolakan terhadap RUU TNI pada Maret 2025. Menurutnya, aparat tidak hanya mendatangi para peserta aksi, tetapi juga keluarga mereka. Ia menjelaskan bahwa intel dari kepolisian, TNI, dan bahkan organisasi masyarakat (ormas) mendatangi rumah-rumah peserta aksi untuk mencari informasi mengenai keberadaan mereka.

LBH Semarang juga menemukan indikasi intimidasi terhadap pejabat struktural kampus. Cornelius menduga bahwa hal ini berkaitan dengan arahan dari pemerintah pusat kepada pihak kampus untuk membatasi ruang berekspresi mahasiswa. Ia menambahkan bahwa hal ini terjadi di banyak kampus, baik negeri maupun swasta, dan menduga adanya arahan langsung dari kementerian terkait, meskipun identitas kementerian tersebut masih dalam proses pencarian informasi.

Saat ini, LBH Semarang tengah melakukan asesmen dan menyiapkan pendampingan hukum bagi para mahasiswa yang menjadi korban intervensi aparat.

Menanggapi isu ini, Brigjen Wahyu Yudhayana, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat, membenarkan bahwa ada anggota TNI yang hadir di UIN Walisongo, yaitu Sertu Rokiman, Babinsa Koramil Ngaliyan. Namun, ia menegaskan bahwa kehadiran tersebut hanya merupakan bagian dari tugas rutin monitoring wilayah. Wahyu menjelaskan bahwa Babinsa hadir di sekitar kampus karena sebelumnya beredar pamflet undangan diskusi yang bersifat terbuka untuk umum.

Wahyu menepis tuduhan intervensi dan menyatakan bahwa anggotanya tidak masuk ke dalam forum diskusi dan tetap berada di luar kampus. Ia juga membantah bahwa Babinsa memanggil mahasiswa keluar kampus. Wahyu memastikan bahwa orang misterius yang hadir di dalam forum bukanlah bagian dari TNI.

TNI, lanjutnya, menghormati kebebasan akademik dan tidak memiliki kepentingan dalam urusan internal kampus. Mereka juga berkomitmen untuk menjaga hubungan baik dengan masyarakat sipil.