Atlet Indonesia Taklukkan Marathon Sahara 270 Km dengan Sandal Jepit
Diego Yanuar: Menjelajahi Gurun Sahara dengan Sandal dan Filosofi Leluhur
Diego Yanuar, seorang pelari asal Indonesia, baru-baru ini mencuri perhatian dunia olahraga dengan prestasinya yang unik: menyelesaikan Marathon des Sables sepanjang 270 kilometer di Gurun Sahara, Maroko, hanya dengan berbekal sepasang sandal jepit. Lebih dari sekadar tantangan fisik, bagi Diego, lari adalah sebuah perjalanan spiritual, sebuah upaya untuk merasakan kembali pengalaman nenek moyang dalam proses evolusi manusia.
"Saya ingin terhubung dengan bumi, merasakan panasnya, merasakan sakitnya, sama seperti yang dialami leluhur kita," ungkap Diego dalam wawancara daring.
Perjalanan Panjang Menuju Sahara
Sebelum menaklukkan kerasnya Sahara, Diego telah malang melintang di dunia lari jarak jauh. Ia telah menyelesaikan berbagai ultra marathon, termasuk BTS100 Ultra di kawasan Bromo Tengger Semeru. Ide untuk mengikuti Marathon des Sables muncul dari obrolan santai dengan teman-temannya, dan sejak saat itu, ia bertekad untuk mewujudkan impian tersebut.
"Saya sudah tahu Marathon des Sables sejak kecil, sering menonton di National Geographic, tapi dulu hanya sebatas imajinasi anak kecil. Baru setelah itu, saya mulai riset dan yakin bisa menaklukkannya," jelasnya.
Persiapan Matang untuk Medan Ekstrem
Persiapan untuk Marathon des Sables tidaklah mudah. Diego harus mempersiapkan segala sesuatunya secara matang, mulai dari kondisi fisik, perbekalan medis, hingga logistik. Panitia lomba memiliki persyaratan ketat terkait perbekalan, termasuk kewajiban membawa minimal 2.000 kalori makanan per hari. Setiap peserta juga wajib membawa surat keterangan medis yang menyatakan kondisi jantungnya.
"Setiap makanan harus dihitung kalorinya. Ini penting karena aktivitas ini membutuhkan energi yang sangat besar," kata Diego.
Selain makanan, air juga menjadi perhatian utama. Setiap peserta mendapatkan jatah lima liter air setiap hari, dan dapat mengisi ulang di pos-pos pemeriksaan.
Diego memulai perjalanannya dengan ransel seberat 13 kilogram, berisi perbekalan dengan total 3.500 kalori. Namun, setelah berdiskusi dengan peserta lain di tenda, ia berhasil mengurangi beban ranselnya hingga dua kilogram.
"Begitu sampai di Sahara, saya mendapat banyak saran dari teman-teman satu tenda tentang barang-barang yang penting dan tidak penting," ujarnya.
Beberapa barang yang akhirnya ditinggalkan Diego adalah kompor, tisu, dan bekal makan siang.
Dalam Marathon des Sables, setiap peserta dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari delapan orang. Setiap kelompok mendapatkan satu tenda berber, tenda tradisional yang biasa digunakan oleh suku Sahara.
"Saya satu tenda dengan pelari lain dari Indonesia, namanya Irjen Jayadi," ungkap Diego.
Selain logistik, persiapan fisik juga menjadi kunci keberhasilan Diego. Ia tidak hanya fokus pada latihan lari, tetapi juga membiasakan diri dengan gaya hidup aktif.
"Karena saya baru menyelesaikan BTS 170 kilometer, endurance-nya masih ada. Jadi, saya menjaganya dengan aktivitas sehari-hari," jelasnya.
Rutinitasnya meliputi bersepeda ke kantor sejauh 20-22 kilometer, berjalan kaki saat berbelanja, menemani anak bermain sepeda, dan berjalan kaki di taman.
"Saya lebih mementingkan gaya hidup aktif daripada program latihan yang terpaku," katanya.
Namun, Diego tetap melakukan latihan lari jarak pendek, jarak jauh, dan angkat beban untuk mempersiapkan fisiknya.
Filosofi Sandal dan Koneksi dengan Alam
Diego mulai berlari menggunakan sandal pada tahun 2016. Keputusan ini bermula setelah ia mengalami cedera kaki saat menggunakan sepatu lari. Ia kemudian mempelajari tentang gerakan alami dan memutuskan untuk beralih ke sandal.
"Saya cedera, lalu mulai membaca artikel tentang lari, tentang pergerakan, tentang natural movement. Akhirnya, saya memutuskan untuk memilih natural running, yang membawa saya ke cara manusia bergerak sesuai evolusi," ujarnya.
Menjadi Sorotan di Gurun Sahara
Sebagai satu-satunya pelari yang menggunakan sandal, Diego menjadi pusat perhatian di Gurun Sahara. Para peserta dan relawan kagum dengan keputusannya.
"Saya seperti superstar di sana, kecuali di mata panitia. Mereka khawatir saya akan kenapa-kenapa dan menyarankan untuk memakai sepatu. Tapi, saya tahu kemampuan saya dan punya pengalaman sendiri," katanya.
Seorang peserta dari Spanyol bahkan menjulukinya "Si Kambing" karena Diego tampak ringan saat berlari.
Namun, berlari dengan sandal di Sahara juga memiliki tantangan tersendiri. Salah satunya adalah menghadapi tanaman berduri.
"Saya kira hanya ada pasir dan batu, ternyata ada tanaman gurun yang bunganya juga berduri. Jadi, saat yang lain lewat dengan aman, saya sendiri yang merasa kesakitan," ungkapnya.
Salah satu masalah umum yang dihadapi para pelari marathon adalah kaki melepuh akibat gesekan dengan sepatu. Namun, Diego terhindar dari masalah ini berkat sandalnya.
Diego juga sempat khawatir sandalnya akan putus atau rusak selama berlari di atas pasir.
"Pasir di gurun itu benar-benar empuk. Setiap kali kaki menapak, tali sandal berfungsi penting untuk mengangkat kaki," jelasnya.
Menyentuh Garis Finish dengan Selamat
Meski menghadapi berbagai kendala, Diego berhasil mencapai garis finish dengan selamat dalam waktu 40 jam 40 menit.
"Tidak ada kendala berarti, hanya kendala kecil seperti tas yang perlu diperbaiki," katanya.
Bagi Diego, pengalaman berlari dengan sandal di Gurun Sahara adalah sebuah perjalanan emosional dan spiritual. Ia bahkan memutuskan untuk menyimpan kameranya dan fokus merasakan setiap momen dalam perjalanan menuju garis finish.
"Saya ingin merasakan momennya, jadi kamera lebih banyak di tas. Ada beberapa saat yang sangat emosional," pungkasnya.