Polemik Penjurusan SMA: Antara Niat Mulia dan Tantangan Implementasi

Penjurusan SMA: Sebuah Dilema Kebijakan Pendidikan

Perdebatan mengenai sistem penjurusan di Sekolah Menengah Atas (SMA) kembali mencuat. Apakah sistem yang membagi siswa ke dalam jurusan IPA, IPS, dan Bahasa masih relevan di era modern ini? Atau sebaiknya siswa diberikan kebebasan untuk memilih mata pelajaran sesuai minat dan bakat mereka?

Agustina Kustulasari, seorang pengamat kebijakan pendidikan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), berpendapat bahwa pada dasarnya, baik dengan sistem penjurusan maupun tanpa penjurusan, tujuannya sama: memberikan ruang bagi siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan minat, bakat, potensi, dan rencana karier mereka. Perbedaan terletak pada pendekatan yang digunakan.

Pendekatan yang Berbeda, Tujuan yang Sama?

Dalam sistem penjurusan, siswa diarahkan untuk memilih paket mata pelajaran yang telah ditentukan, seperti IPA, IPS, atau Bahasa. Sementara itu, pendekatan lain memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih mata pelajaran yang mereka inginkan. Meskipun demikian, Ari, sapaan akrab Agustina Kustulasari, berpendapat bahwa pada akhirnya, siswa mungkin akan memilih mata pelajaran yang kurang lebih sama, bahkan mungkin karena ikut-ikutan tren yang sudah lama ada.

Warisan Penjurusan yang Mengakar

Sistem penjurusan IPA/IPS/Bahasa telah lama menjadi bagian dari sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini telah terinternalisasi dalam pandangan siswa, orang tua, guru, dan pihak-pihak terkait lainnya. Oleh karena itu, Ari berpendapat bahwa meskipun Kurikulum Merdeka memberikan fleksibilitas, siswa mungkin tetap memilih paket mata pelajaran yang sama seperti dalam sistem penjurusan.

Ari juga menyoroti bahwa perubahan kebijakan yang sering terjadi seiring dengan pergantian kepemimpinan dapat menjadi masalah. Ia menekankan pentingnya membangun konsensus nasional mengenai keberlanjutan program pendidikan dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya.

Rekomendasi untuk Pemerintah

Meskipun Ari mengakui bahwa baik sistem penjurusan maupun tanpa penjurusan memiliki tujuan yang sama, ia menyarankan agar para pembuat kebijakan menunggu dan melihat apakah kembalinya sistem penjurusan IPA/IPS/Bahasa akan membawa perubahan yang signifikan atau hanya mengembalikan kebijakan lama.

Pasalnya, kompetensi yang dibutuhkan di tingkat pendidikan tinggi dan dunia kerja saat ini membutuhkan pendekatan multidisiplin. Oleh karena itu, Ari mempertanyakan apakah sistem penjurusan yang ada saat ini mampu mengakomodasi perubahan zaman.

Ari memberikan contoh, jika seorang siswa tertarik untuk belajar ilmu komputer, jurusan mana yang sebaiknya ia ambil? Jika pengaturan mata pelajarannya sama persis seperti format penjurusan IPA sebelumnya, maka hal ini tidak akan mengubah apa pun atau mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan saat ini.

Refleksi Jujur dan Evaluasi Kebijakan

Ari menyarankan agar Kementerian Pendidikan dan para pembuat kebijakan saat ini melakukan refleksi jujur mengenai apa yang sebenarnya sedang dilakukan dan apakah benar-benar membuat suatu perubahan. Apakah kebijakan yang diambil didasarkan pada pertimbangan yang matang, atau hanya sekadar ketidaksukaan terhadap kebijakan sebelumnya?

Ia secara pribadi lebih cenderung untuk tidak terburu-buru mengubah format penjurusan, agar dapat mengevaluasi terlebih dahulu bagaimana kebijakan sebelumnya berjalan. Hal ini penting agar perubahan kebijakan yang dilakukan benar-benar membawa dampak positif bagi pendidikan di Indonesia.

Secara keseluruhan, isu penjurusan SMA ini membuka wacana yang lebih luas mengenai arah kebijakan pendidikan di Indonesia. Perlu adanya diskusi yang mendalam dan melibatkan berbagai pihak untuk menghasilkan solusi yang terbaik bagi kemajuan pendidikan di tanah air.