Gelombang Kehadiran Militer di Kampus: Kontroversi dan Tanggapan dari Udayana hingga Universitas Indonesia
Fenomena kehadiran personel militer di lingkungan kampus semakin menjadi sorotan publik belakangan ini, memicu perdebatan tentang otonomi akademik dan kebebasan berekspresi di kalangan mahasiswa. Kasus terbaru yang mencuat adalah kemunculan anggota TNI di Universitas Indonesia (UI), Depok, menyusul kejadian serupa di beberapa perguruan tinggi lain.
Jejak Kehadiran TNI di Berbagai Kampus
Sebelum UI, Universitas Udayana (Unud) telah menjalin kerja sama formal dengan TNI Angkatan Darat (AD). Pada 5 Maret 2025, nota kesepahaman (MoU) ditandatangani dengan fokus pada "Sinergitas di Bidang Pendidikan, Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi". Rektor Unud, I Ketut Sudarsana, dan Kapendam IX/Udayana, Kolonel Agung Udayana, kompak menampik adanya intervensi militer dalam ranah akademik. Meski demikian, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Udayana memberikan respons keras, mengkhawatirkan MoU tersebut dapat mengancam independensi kampus.
Pemerhati militer dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, Made Supriatma, berpendapat bahwa revisi Undang-Undang TNI memberikan justifikasi bagi TNI untuk memasuki ruang sipil melalui berbagai kerja sama, termasuk dengan institusi pendidikan.
Pada tanggal 14 April 2025, di UIN Walisongo, Semarang, seorang pria berseragam TNI terlihat menghadiri diskusi yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) dan Forum Teori dan Praksis Sosial (FTPS). Diskusi tersebut bertajuk "Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-bayang Militer bagi Kebebasan Akademik". Kehadiran pria tersebut, yang kemudian diketahui sebagai Sertu Rokiman, Babinsa Koramil Ngaliyan Kelurahan Tambak Aji, sempat mengejutkan para peserta.
Respons TNI dan Implikasi yang Lebih Luas
Mabes TNI menegaskan bahwa pihaknya tidak memiliki kepentingan untuk mencampuri urusan internal kampus, termasuk diskusi mahasiswa. Kapuspen TNI, Brigjen Kristomei Sianturi, menyatakan bahwa TNI menghormati kebebasan akademik dan tidak berniat mengintervensi kegiatan di lingkungan pendidikan.
Aktivis LBH Semarang, Cornelius Gea, mengungkapkan bahwa fenomena serupa juga terjadi di beberapa daerah lain, seperti Jepara, Pekalongan, dan Tegal. Ia mencatat peningkatan kasus pengawasan dan intimidasi setelah gelombang penolakan terhadap RUU TNI pada Maret 2025. Menurutnya, tidak hanya peserta aksi yang didatangi, tetapi juga keluarga mereka, oleh intel dari kepolisian, TNI, bahkan organisasi masyarakat (ormas).
Insiden di Universitas Indonesia
Kehadiran sejumlah anggota TNI di area Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI, Depok, pada Rabu malam, 16 April 2025, semakin memperpanas isu ini. Saat itu, mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia sedang menggelar Konsolidasi Nasional Mahasiswa untuk membahas isu-isu kebangsaan. Direktur Humas UI, Arie Afriansyah, menegaskan bahwa Rektorat UI tidak pernah mengundang militer untuk hadir dalam acara tersebut dan menghormati setiap kegiatan mahasiswa yang berlangsung di kampus.
Pihak TNI secara umum membantah adanya intimidasi terhadap kegiatan kemahasiswaan. Mereka menyatakan bahwa kerja sama antara TNI dan kampus sudah berlangsung sejak lama dan tidak ada perintah untuk mengawasi kampus. Brigjen Kristomei Sianturi menegaskan bahwa kampus adalah mitra strategis TNI.
Isu kembalinya dwifungsi ABRI (sekarang TNI) seperti pada era Orde Baru juga menjadi perhatian banyak pihak, terutama setelah ramai protes terhadap RUU TNI. Namun, Brigjen Kristomei Sianturi membantah bahwa hal ini berkaitan dengan UU TNI.