Korupsi Mengakar: Krisis Malu dan Keberanian di Indonesia

Indonesia, negara yang dibangun atas perjuangan dan cita-cita luhur, kini bergulat dengan realitas pahit: korupsi yang merajalela. Sebuah ironi mencolok di mana rasa malu seolah telah terhapus, digantikan oleh praktik korupsi yang semakin terbuka dan sistematis.

Mahfud MD, dengan nada prihatin yang mendalam, menyerukan keadaan darurat korupsi di Indonesia. Pernyataan ini bukan sekadar basa-basi birokrasi, melainkan cerminan dari kenyataan yang pahit. Korupsi telah mencengkeram berbagai aspek kehidupan berbangsa, dari udara hingga laut, dari rumah sakit hingga hutan. Praktik haram ini telah merasuki infrastruktur negara, merajutnya dengan nota palsu dan kuitansi rekayasa.

Korupsi kini bukan lagi tindakan tersembunyi, melainkan gerakan berjamaah yang dilegalkan secara formal. Hukum, yang seharusnya menjadi benteng keadilan, justru digunakan sebagai alat pembenaran. Ironisnya, korupsi telah bertransformasi dari tindakan individu menjadi sistem dan bahkan budaya yang mengakar kuat. Masyarakat seolah terpaksa menyesuaikan diri dengan ritme korupsi, menjadi bagian dari orkestra kebusukan yang besar.

Kasus korupsi tata niaga timah senilai ratusan triliun rupiah menjadi contoh nyata betapa dalamnya luka yang menggerogoti keadilan. Hukuman ringan yang dijatuhkan kepada pelaku seolah mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Pertanyaan pun muncul: di mana rasa malu kita? Di negara lain, kerugian sebesar itu akan mengguncang pemerintahan, namun di Indonesia, itu hanyalah angka dalam berita yang berlalu begitu saja.

Korupsi, seperti yang diungkapkan oleh seorang penggiat antikorupsi, adalah "cara mati yang tidak mengenal darah." Ia tidak membunuh secara brutal, tetapi menggerogoti secara perlahan, merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa. Di ruang pengadilan, keadilan pun bisa disewa, dengan hakim yang seharusnya menjadi penjaga nurani justru menjual putusan.

Mahfud MD tidak tinggal diam. Ia mendorong penegakan hukum yang lebih tegas, bahkan menyerukan pengambilalihan kasus korupsi oleh Jaksa Agung. Namun, pertanyaan mendasar tetap menggantung: siapa yang akan mendengar? Siapa yang akan bertindak? Siapa yang berani menyentuh lingkaran kekuasaan yang saling melindungi?

Usulan kontroversial Presiden Prabowo Subianto untuk memaafkan koruptor yang mengembalikan uang hasil curian juga menuai kritik tajam. Mahfud MD dengan tegas menyatakan bahwa usulan tersebut melanggar hukum dan nurani. Korupsi bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan pengkhianatan terhadap kemanusiaan, terhadap uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk membangun negeri.

Pengampunan semacam itu akan memberikan pesan yang salah, melegitimasi tindakan korupsi. Rakyat tidak hanya membutuhkan pengembalian uang, tetapi juga pemulihan rasa percaya. Ironisnya, bahkan harapan akan masa depan yang lebih baik pun telah dibeli, disponsori, dan dikontrak.

Negeri ini tidak kekurangan hukum, tetapi kekurangan keberanian dan rasa malu. Dulu, pejabat korup akan mengundurkan diri, namun kini mereka melawan balik, menyewa buzzer, dan membentuk opini publik. Negara seolah kehilangan arah, terjebak dalam politik yang bising namun kosong, hukum yang tebal namun tumpul, dan demokrasi yang rajin menggelar pemilu namun abai terhadap suara rakyat.

Jika korupsi dibiarkan menjadi norma, maka yang akan terjadi bukanlah pembangunan, melainkan renovasi kebusukan. Bukan reformasi, melainkan daur ulang pengkhianatan. Bukan suara rakyat, melainkan gema dari ruang-ruang rapat tertutup. Rakyat kecil akan terus tertindas, sementara para koruptor akan tidur nyenyak dalam legalitas palsu.

Di negeri yang kehilangan rasa malu, kata "koruptor" pun tak lagi mengandung cela. Ia menjadi bagian dari percakapan sehari-hari, sesuatu yang biasa saja. Namun, selama masih ada orang-orang seperti Mahfud MD yang berani melawan arus, harapan masih ada. Satu suara jujur masih bisa mengguncang kursi kekuasaan, dan mungkin itu cukup untuk memulai perubahan.

  • Korupsi berjamaah
  • Korupsi sistematis
  • Keadilan yang disewa