Polemik Kasus Pagar Laut Tangerang: Kejaksaan Agung Didorong untuk Intervensi

Mandeknya Penyelidikan Pagar Laut Tangerang: Perseteruan Interpretasi Hukum antara Polri dan Kejagung Memanas

Kasus pembangunan pagar laut ilegal sepanjang 30,16 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, yang mencuat sejak awal Januari 2025, kini memasuki babak baru. Penyelidikan kasus yang diduga merugikan negara ini terhambat akibat perbedaan pandangan yang tajam antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.

Kejagung mencurigai adanya praktik korupsi dalam penerbitan sertifikat lahan untuk pembangunan pagar laut tersebut. Sementara itu, Bareskrim Polri bersikeras bahwa kasus ini hanya terbatas pada pemalsuan dokumen.

Perbedaan interpretasi ini memicu polemik yang semakin dalam, terutama setelah Kejagung menginstruksikan Bareskrim untuk menyelidiki potensi suap dan gratifikasi yang terkait dengan dugaan korupsi dalam kasus ini. Kecurigaan ini muncul berdasarkan temuan dugaan korupsi dalam pemalsuan surat tanah yang melibatkan Kepala Desa Kohod, Tangerang, beserta stafnya.

Polri Berkeras Tidak Ada Unsur Korupsi

Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro, menegaskan bahwa fokus penyelidikan pihaknya tetap pada dugaan pemalsuan surat, sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP. Menurutnya, berkas yang telah dikirimkan ke kejaksaan telah memenuhi unsur formal dan materiil yang diperlukan. Penegasan ini disampaikan dalam konferensi pers di Lobi Bareskrim Polri pada Kamis, 10 April 2025.

Brigjen Djuhandhani menjelaskan bahwa setelah menerima petunjuk dari berkas P19 yang diberikan oleh Kejaksaan Agung, penyidik telah melakukan serangkaian pemeriksaan dan meminta keterangan dari sejumlah ahli. Upaya ini dilakukan untuk memastikan ada atau tidaknya unsur korupsi dalam kasus tersebut.

Direktorat Tindak Pidana Umum bahkan telah berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengidentifikasi potensi kerugian negara dalam kasus pagar laut ini. Namun, hingga saat ini, BPK belum dapat memberikan penjelasan yang meyakinkan mengenai adanya kerugian negara.

Kritikan Pedas dari Pegiat Antikorupsi

Sikap Bareskrim Polri yang terkesan enggan mengusut dugaan korupsi dalam kasus pagar laut Tangerang, dengan alasan tidak adanya kerugian negara, menuai kritik tajam dari berbagai pihak.

Aktivis antikorupsi, Agus Sunaryanto, mantan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), menilai bahwa pemahaman Bareskrim terhadap korupsi terlalu sempit. Ia menegaskan bahwa korupsi tidak hanya terbatas pada kerugian negara, tetapi juga meliputi suap, gratifikasi, perbuatan curang, dan pemerasan.

Agus meyakini bahwa dalam kasus pagar laut ini telah terjadi peralihan hak milik tanah dari negara menjadi milik pribadi atau perusahaan, yang harus diusut secara tuntas. Ia menyarankan agar penyidik Bareskrim Polri dan tim dari Kejaksaan duduk bersama untuk menyamakan pemahaman terhadap kasus ini.

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) juga menyayangkan sikap Bareskrim Polri yang terkesan "ngeyel" dan tidak mengikuti petunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU). Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, berpendapat bahwa seharusnya Bareskrim mematuhi petunjuk jaksa yang mengarahkan penyidikan ke arah pidana khusus, yaitu korupsi.

Desakan agar Kejagung Mengambil Alih Kasus

Menanggapi lambannya penanganan kasus pagar laut Tangerang oleh Bareskrim Polri, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak agar Kejaksaan Agung mengambil alih penanganan kasus ini. Peneliti ICW, Erma Nuzulia, menduga bahwa dalam kasus pemalsuan surat tanah ini terdapat unsur korupsi, baik berupa suap maupun gratifikasi. Oleh karena itu, kasus ini seharusnya ditangani sebagai tindak pidana khusus.

Erma menambahkan bahwa Kejaksaan memiliki wewenang untuk terlibat dalam proses penyidikan dan bahkan mengambil alih kasus jika diperlukan, terutama jika petunjuk dari kejaksaan tidak diikuti oleh kepolisian.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, juga mendukung agar Kejaksaan Agung mengambil alih penanganan kasus pagar laut ini jika Bareskrim tetap enggan mengusut dugaan korupsi. Menurutnya, kasus ini erat kaitannya dengan kerugian negara, dan proses pemalsuan surat tanah oleh Kepala Desa Kohod dan stafnya berpotensi mengandung unsur korupsi, baik suap maupun gratifikasi.

Abdul Fickar Hadjar juga menegaskan bahwa penguasaan ruang laut oleh pihak-pihak tertentu saja sudah dapat dikategorikan merugikan negara. Kasus ini, menurutnya, jelas merupakan korupsi yang melibatkan aparatur pemerintahan dan pihak swasta yang membangun pagar laut.