Suaka Terancam: Atlet Sepak Bola Afghanistan di Jerman Hadapi Deportasi

Nasib seorang atlet sepak bola muda asal Afghanistan, Nazira Khairzad, kini berada di ujung tanduk. Setelah melarikan diri dari rezim Taliban pada tahun 2021 dan membangun kembali kehidupannya di Jerman, Nazira menghadapi ancaman deportasi yang membayangi. Kisahnya menjadi potret buram bagi para pengungsi yang mencari perlindungan di Eropa.

Nazira, bersama kakaknya Nazima, merasakan pahitnya perpisahan dan ketidakpastian setelah Taliban kembali berkuasa. Keluarga mereka terpecah, melarikan diri secara terpisah untuk menghindari kekejaman rezim tersebut. Nazira menginjakkan kaki pertama di Eropa melalui Italia, sementara Nazima berhasil mencapai Jerman melalui Pakistan bersama anggota keluarga lainnya. Penantian panjang selama tiga tahun akhirnya berbuah manis di awal tahun 2024, ketika Nazira dan keluarganya dapat bersatu kembali di wilayah Frankfurt am Main.

"Masa-masa itu sangat sulit. Kami tidak bisa bertemu untuk waktu yang lama," ujar Nazira, mengenang perpisahan yang menyakitkan. "Tetapi sekarang kami bahagia bisa bersatu kembali."

Sebelum kejatuhan Afghanistan ke tangan Taliban, Nazira dan Nazima adalah dua saudara yang tak terpisahkan. Mereka tumbuh besar di provinsi Bamiyan, berbagi kecintaan pada olahraga dan alam. Meskipun menghadapi tantangan sosial dan budaya yang membatasi peran perempuan dalam olahraga, keduanya berhasil mengukir prestasi. Nazima menjadi pemain ski dan pendaki gunung yang sukses, sementara Nazira menunjukkan bakatnya sebagai penjaga gawang dalam tim nasional sepak bola Afghanistan.

Namun, mimpi-mimpi itu hancur berkeping-keping ketika Taliban kembali berkuasa. Ancaman nyata terhadap keselamatan mereka memaksa Nazira dan keluarganya untuk meninggalkan tanah air tercinta.

"Hidup saya terancam di Afghanistan," tutur Nazira. "Jika saya tetap tinggal saat itu, Taliban mungkin akan membunuh saya."

Kini, setelah berjuang untuk membangun kehidupan baru di Jerman, Nazira menghadapi mimpi buruk baru: deportasi kembali ke Italia, negara pertama yang memberinya suaka. Bersama pengacaranya, Elke Gabsa, keluarga Khairzad berupaya keras untuk mencegah deportasi tersebut, meskipun dihadapkan pada situasi hukum yang kompleks.

"Jika seseorang diakui sebagai pengungsi di satu negara Uni Eropa, pada umumnya tidak mungkin untuk meminta perlindungan di negara anggota lainnya," jelas Gabsa. Namun, ia menambahkan bahwa ada pengecualian, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan negara-negara seperti Yunani atau Italia. Meskipun deportasi Nazira mungkin sah secara hukum, Gabsa berpendapat bahwa memisahkan Nazira dari keluarganya akan melanggar Piagam Hak Asasi Manusia, mengingat ia membutuhkan dukungan mereka.

Sejak tiba di Jerman, Nazira telah menunjukkan tekadnya untuk berintegrasi. Ia belajar bahasa Jerman, bekerja paruh waktu, dan kembali menekuni sepak bola, olahraga yang sangat dicintainya. Di usianya yang ke-21, Nazira berharap pengadilan akan mengabulkan permohonannya untuk tetap tinggal di Jerman.

"Saya ingin tinggal di Jerman, tinggal bersama keluarga, bekerja, bermain sepak bola, dan menjadi anggota masyarakat yang aktif dan berguna. Saya menginginkan kehidupan yang aman dan bermartabat yang dapat saya bentuk dengan penuh komitmen dan harapan," pungkasnya.

Kisah Nazira Khairzad adalah pengingat yang mengharukan tentang perjuangan para pengungsi untuk mencari perlindungan dan membangun kembali kehidupan mereka di tengah ketidakpastian dan tantangan hukum yang kompleks.