Terungkap! Modus Operandi Dokter di Malang Diduga Lecehkan Beberapa Pasien Wanita

Kasus dugaan pelecehan yang melibatkan seorang dokter berinisial YA di Persada Hospital, Malang, semakin meluas. Setelah QRA (31), seorang wanita asal Bandung, berani mengungkap pengalamannya, kini muncul dugaan adanya korban lain dengan modus operandi yang serupa.

Kuasa hukum QRA, Satria Marwan, mengungkapkan bahwa sejak kasus ini mencuat ke publik, beberapa wanita menghubunginya dan mengaku pernah mengalami perlakuan yang mirip dari dokter YA. Modus yang digunakan diduga melibatkan pendekatan personal yang intens, seperti mengirim pesan berlebihan (spam chat), rayuan (flirting), hingga ajakan kencan layaknya sepasang kekasih.

"Hampir sama modusnya, spam chat, flirting-flirting, goda-goda, ngajak nonton konser, ngajak apa gitu," ujar Satria Marwan kepada awak media.

Satria menambahkan bahwa para korban ini menghubungi QRA melalui pesan langsung (DM) di media sosial setelah QRA berani menceritakan pengalaman pahitnya. Mereka menyatakan keinginan untuk bertemu dan memberikan keterangan terkait dugaan pelecehan yang mereka alami. Pihak kuasa hukum menekankan bahwa pertemuan ini dilakukan atas kemauan para korban sendiri, tanpa adanya paksaan.

Salah satu modus yang diungkap adalah ketika dokter YA meminta QRA untuk menyimpan nomor WhatsApp-nya dengan alasan untuk mengirimkan hasil rontgen yang diambil di ruang IGD. Namun, komunikasi berlanjut ke arah yang tidak profesional dan mengarah pada pelecehan.

Satria Marwan juga mengungkapkan bahwa kejadian serupa dialami oleh korban lain pada waktu yang berbeda. Meskipun demikian, ia memastikan bahwa dokter yang bersangkutan dan rumah sakit tempat kejadian tetap sama.

Menanggapi kasus ini, pihak Persada Hospital sebelumnya menyatakan akan menemui korban untuk mengklarifikasi dugaan pelecehan yang dilakukan oleh dokter YA. Langkah ini diambil untuk mendapatkan keterangan dari kedua belah pihak sebelum mengambil keputusan terkait status dokter YA.

Namun, Satria Marwan menegaskan bahwa upaya konfrontasi semacam itu tidak dibenarkan dalam kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Undang-undang TPKS melarang adanya konfrontasi antara korban dan pelaku untuk melindungi korban dari trauma lebih lanjut.

Sebelumnya, Sub Komite Etik dan Disiplin Persada Hospital Malang, dr. Galih Indradita, menyatakan bahwa klarifikasi dari kedua belah pihak akan dilakukan dalam sidang etik sebelum keputusan diambil. Pihak rumah sakit juga menegaskan komitmen mereka untuk menangani kasus ini secara serius dan adil.