SLIK dan Batas Penghasilan Jadi Sorotan dalam Upaya Peningkatan Akses Perumahan Rakyat
Kredit macet yang tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) masih menjadi kendala utama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk mengakses Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Hal ini menjadi perhatian utama Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (HIMPERRA) yang mendorong adanya kejelasan aturan terkait pemberian kredit bagi calon konsumen dengan riwayat kredit non-lancar.
Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) HIMPERRA 2025 di Yogyakarta, Ketua Umum DPP HIMPERRA, Ari Tri Priyono, menyampaikan apresiasinya terhadap upaya Kementerian PKP dalam menjembatani permasalahan ini dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ari menyoroti bahwa meskipun aturan OJK tidak secara eksplisit melarang pemberian kredit kepada debitur dengan kualitas kredit non-lancar, namun pada praktiknya bank seringkali mengalami kesulitan dalam menyetujui permohonan KPR dari calon pembeli dengan status tersebut. HIMPERRA berharap adanya solusi konkret untuk mengatasi hambatan ini.
Selain masalah SLIK, HIMPERRA juga menyambut baik kebijakan Menteri PKP, Maruarar Sirait, terkait kenaikan batas maksimal penghasilan bagi MBR yang ingin membeli rumah subsidi di wilayah Jabodetabek. Batas penghasilan yang sebelumnya berkisar antara Rp 7 juta hingga Rp 8 juta, kini dinaikkan menjadi Rp 14 juta per bulan bagi yang sudah menikah. Sementara itu, untuk MBR yang belum menikah, batas penghasilan tetap Rp 12 juta per bulan. Kebijakan ini dinilai dapat memperluas kesempatan bagi masyarakat untuk memiliki rumah dengan harga terjangkau.
Ari menambahkan, perlu adanya skema khusus yang menyasar kelompok berpenghasilan di atas Rp 8 juta hingga Rp 14 juta. Skema ini diharapkan dapat menarik minat konsumen, khususnya generasi milenial, untuk membeli rumah dengan harga di atas Rp 185 juta hingga Rp 400 jutaan. Insentif bunga murah, misalnya dengan memberikan suku bunga KPR 2-3 persen di atas suku bunga KPR subsidi, dinilai dapat menjadi daya tarik yang signifikan.
Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Heru Pudyo Nugroho, mengungkapkan bahwa pemerintah tidak hanya memperluas batas penghasilan penerima subsidi, tetapi juga akan meningkatkan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) hingga dua kali lipat, menjadi 440 ribu unit rumah sepanjang tahun 2025. Selain itu, pemerintah juga berencana menyediakan pendanaan khusus untuk rumah komersial (harga hingga Rp 400 juta) dengan kuota 100 ribu unit melalui mekanisme pasar.
Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) juga menyiapkan dukungan likuiditas melalui peningkatan kuota FLPP hingga 440 ribu unit, dengan proyeksi kebutuhan pendanaan sebesar Rp 56,6 triliun. Pendanaan ini akan dialokasikan untuk Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), FLPP, dan Sekuritisasi Mortgage Financing (SMF).
Direktur Consumer BTN, Hirwandi Gafar, menyambut baik penambahan kuota FLPP sebagai peluang bagi masyarakat, pengembang, dan perbankan. Namun, ia menekankan pentingnya peningkatan kualitas pengembangan perumahan, baik dari segi fisik bangunan maupun kenyamanan lingkungan, agar peningkatan kuantitas sejalan dengan peningkatan kualitas.