Amerika Serikat Kritik Sistem Kepabeanan Indonesia: Rawan Korupsi dan Biaya Tinggi
Sorotan Amerika Serikat Terhadap Sistem Kepabeanan Indonesia
Pemerintah Amerika Serikat (AS) baru-baru ini menyampaikan kekhawatiran serius terkait praktik kepabeanan di Indonesia. Melalui laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis pada akhir Maret 2025, AS menyoroti potensi korupsi dan beban administratif yang tinggi dalam sistem pemeriksaan barang masuk yang diterapkan oleh Bea Cukai Indonesia.
Laporan tersebut, yang dikeluarkan oleh United States Trade Representative (USTR), menganalisis hambatan perdagangan di 59 negara mitra dagang AS, termasuk Indonesia. USTR secara khusus menyoroti beberapa isu krusial:
-
Penilaian Bea Masuk: Perusahaan-perusahaan AS mengeluhkan bahwa pejabat Bea Cukai Indonesia kerap menggunakan jadwal harga referensi, bukan nilai transaksi, sebagai metode utama penilaian bea masuk. Padahal, Perjanjian Penilaian Bea Cukai (CVA) World Trade Organization (WTO) mensyaratkan nilai transaksi sebagai metode utama.
-
Ketidakseragaman Penilaian: Eksportir AS melaporkan adanya perbedaan nilai bea masuk yang signifikan antar wilayah, bahkan untuk produk yang identik. Hal ini menciptakan ketidakpastian dan mempersulit perencanaan bisnis.
-
Verifikasi Pra-Pengiriman: Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2021 tentang Verifikasi atau Penelusuran Teknis di Bidang Perdagangan Luar Negeri mewajibkan verifikasi pra-pengiriman oleh surveyor untuk berbagai produk seperti elektronik, tekstil, alas kaki, mainan, makanan, minuman, dan kosmetik. AS menyoroti bahwa Indonesia belum memberitahukan aturan ini kepada WTO sesuai dengan Perjanjian WTO tentang Pemeriksaan Pra-pengiriman hingga 31 Desember 2024.
-
Barang Tidak Berwujud: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190 Tahun 2022 menetapkan operasi kepabeanan untuk barang tidak berwujud seperti transmisi atau unduhan elektronik, termasuk persyaratan prosedural dan klasifikasi berdasarkan Bab 99 daftar tarif kepabeanan Indonesia. USTR menyebut peraturan ini menciptakan beban administratif yang signifikan pada industri AS dengan memberlakukan persyaratan penyimpanan dokumen baru yang tidak terdefinisi dan tidak pasti.
Insentif Petugas Bea Cukai: Potensi Korupsi dan Biaya Tambahan
Salah satu poin yang paling disoroti oleh USTR adalah sistem insentif atau 'bonus' bagi petugas bea cukai Indonesia, yang dapat mencapai hingga 50% dari nilai barang yang disita atau dari jumlah bea yang terutang. AS menekankan bahwa Indonesia adalah salah satu dari sedikit mitra dagang utama AS yang masih menerapkan sistem insentif semacam itu. Menurut Perjanjian Fasilitasi Perdagangan WTO, Indonesia seharusnya menghindari pemberian insentif serupa.
USTR menilai sistem ini berpotensi menimbulkan praktik korupsi, meningkatkan biaya administrasi, menciptakan ketidakpastian, dan mengurangi transparansi. AS telah menyampaikan kekhawatirannya mengenai hal ini kepada Komite Fasilitasi Perdagangan WTO sejak Juni 2023.
Kritik dari Amerika Serikat ini menggarisbawahi perlunya reformasi mendalam dalam sistem kepabeanan Indonesia. Transparansi, efisiensi, dan kepastian hukum adalah kunci untuk meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global dan menarik investasi asing.