Reformasi Pengelolaan Barang Sitaan: Aset Negara Tersembunyi dalam Proses Hukum
Praktisi hukum dan politikus senior PDI-P, Trimedya Panjaitan, menyerukan perubahan mendasar dalam pengelolaan barang sitaan dan rampasan dalam kasus pidana di Indonesia. Ia menekankan perlunya pergeseran paradigma dari sekadar menjadikannya sebagai barang bukti di pengadilan menjadi sumber potensial pendapatan negara yang signifikan.
Seruan ini disampaikan dalam sidang promosi doktor Ilmu Hukum di Universitas Borobudur, Jakarta Timur. Trimedya menyoroti fakta bahwa nilai barang sitaan seringkali tergerus akibat lamanya proses hukum dan kurangnya perawatan yang memadai. Ia mencontohkan sebuah pabrik yang nilai awalnya Rp 500 miliar, namun menyusut menjadi Rp 200 miliar karena tidak terkelola dengan baik. Selisih Rp 300 miliar ini, menurutnya, merupakan kerugian negara yang seharusnya dapat dihindari.
Penelitian Trimedya menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil, sekitar 20-30 persen, dari barang sitaan dan rampasan yang berhasil kembali ke kas negara. Sisanya, 70-80 persen, tidak jelas keberadaannya. Masalah ini diperparah oleh durasi proses hukum yang panjang, mulai dari penyelidikan hingga putusan inkrah, yang seringkali memakan waktu hingga 5 tahun. Selama periode ini, barang sitaan berisiko mengalami kerusakan atau penurunan nilai.
Sebagai contoh positif, Trimedya menunjuk pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki Direktorat Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti, dan Eksekusi (Labuksi). KPK berupaya merawat barang bukti dan sitaan di gedung Rupbasan, meskipun fasilitas tersebut masih terbatas dalam hal luas lahan.
Lebih lanjut, Trimedya mengusulkan pembentukan sistem penyimpanan barang bukti dan sitaan yang terintegrasi secara nasional, melibatkan KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri. Sistem ini diharapkan dapat memastikan perawatan yang optimal dan mencegah penurunan nilai barang sitaan.
Trimedya juga menyinggung Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 155 Tahun 2024 yang mengalihkan kewenangan pengelolaan barang sitaan dari Kementerian Hukum dan HAM kepada Kejaksaan Agung. Langkah ini, menurutnya, sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto untuk memaksimalkan potensi barang sitaan sebagai aset negara.
Untuk mewujudkan reformasi pengelolaan barang sitaan, beberapa langkah penting perlu dipertimbangkan:
- Perubahan Mindset: Aparat penegak hukum perlu melihat barang sitaan bukan hanya sebagai barang bukti, tetapi juga sebagai aset negara yang berpotensi menghasilkan pendapatan.
- Peningkatan Koordinasi: KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri harus bekerja sama dalam sistem pengelolaan barang sitaan yang terintegrasi.
- Perawatan Optimal: Barang sitaan harus dirawat dengan baik agar nilainya tetap terjaga selama proses hukum berlangsung.
- Pemanfaatan Aset: Barang sitaan yang tidak diperlukan sebagai barang bukti dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang produktif, seperti disewakan atau dilelang.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Pengelolaan barang sitaan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel untuk mencegah penyalahgunaan.
Dengan menerapkan langkah-langkah ini, diharapkan barang sitaan dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendapatan negara dan meningkatkan efektivitas penegakan hukum di Indonesia.