Reaktivasi Jalur Kereta Bandung-Ciwidey: Dilema Warga di Atas Rel dan Janji Pembangunan
Rencana reaktivasi jalur kereta api Bandung–Ciwidey yang digagas oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat menghadirkan simpul permasalahan kompleks. Di satu sisi, terdapat harapan akan peningkatan konektivitas dan pengurangan kemacetan. Di sisi lain, terdapat kecemasan mendalam dari ribuan warga yang telah menjadikan bekas rel kereta api sebagai hunian mereka selama bertahun-tahun.
Jalur kereta api yang dulunya ramai dilalui lokomotif, kini menjelma menjadi kawasan padat penduduk. Di sepanjang jalur Bandung hingga Kabupaten Bandung, berdiri rumah-rumah warga, sebagian permanen, sebagian semi-permanen, yang menjadikan rel sebagai bagian integral dari kehidupan mereka. Kampung Ciluncat di Desa Ciluncat, Kecamatan Cangkuang, adalah salah satu contoh nyata. Bekas rel kereta api di sana telah berubah fungsi menjadi fondasi rumah, jalan setapak, bahkan jembatan. Warga secara swadaya menutup rel dengan semen, menciptakan infrastruktur alternatif yang menunjang aktivitas sehari-hari.
Kondisi serupa terlihat di Kampung Cibeureum Jati, Desa Sadu, Kecamatan Soreang. Jembatan-jembatan tua yang dulunya menjadi bagian dari jalur kereta api, kini menjadi penghubung antar kampung, memangkas waktu tempuh dan menghindari warga dari lalu lintas arteri yang padat. Namun, rencana reaktivasi jalur kereta api ini menimbulkan ketidakpastian dan kekhawatiran di kalangan warga. Mereka yang telah lama tinggal dan mencari nafkah di atas rel, merasa cemas akan kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian.
Bagi Iim, seorang warga yang telah 15 tahun berjualan di atas rel, reaktivasi jalur kereta api adalah ancaman nyata bagi keberlangsungan hidup keluarganya. Ia menghormati kebijakan pemerintah, namun juga mempertanyakan nasib usahanya jika bangunan tempat ia berjualan harus dibongkar. Kecemasan juga dirasakan oleh anak-anak mereka, yang bertanya-tanya apakah mereka akan diusir dari rumah yang telah lama mereka tinggali. Harapan mereka sederhana, jika reaktivasi jalur kereta api benar-benar dilakukan, pemerintah menyediakan tempat tinggal yang layak bagi mereka.
Reaktivasi jalur kereta api Bandung–Ciwidey adalah bagian dari program pemerintah untuk menghidupkan kembali jalur-jalur kereta api yang sudah lama tidak aktif. Selain Bandung–Ciwidey, jalur lain yang menjadi prioritas adalah Bandung–Pangandaran, Garut–Cikajang, Bogor–Sukabumi–Cianjur, Padalarang–Cipatat, Banjar–Cijulang, dan Rancaekek–Tanjungsari. Reaktivasi ini diharapkan dapat mengurangi kemacetan, terutama pada musim liburan, dan meningkatkan konektivitas antar wilayah.
Namun, di balik tujuan mulia pembangunan, terdapat kehidupan masyarakat yang telah lama berakar di atas rel kereta api. Pemerintah perlu mencari solusi yang adil dan bijaksana, yang mempertimbangkan kepentingan semua pihak, agar reaktivasi jalur kereta api Bandung–Ciwidey tidak hanya menjadi proyek pembangunan, tetapi juga membawa manfaat bagi seluruh masyarakat.
Persoalan reaktivasi jalur kereta api Bandung-Ciwidey ini juga menyoroti tantangan pembangunan di perkotaan, di mana pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur seringkali berbenturan dengan hak-hak masyarakat yang telah lama tinggal di kawasan tersebut. Diperlukan pendekatan yang humanis dan inklusif, yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, agar pembangunan dapat berjalan secara berkelanjutan dan berkeadilan.