Revitalisasi Industri Nasional: Belajar dari Keberhasilan Vietnam

Di tengah dinamika ekonomi global, Indonesia menghadapi tantangan dalam memantapkan posisinya sebagai negara industri yang kompetitif. Perbandingan dengan Vietnam, yang telah berhasil mentransformasi ekonominya menjadi basis manufaktur yang kuat, memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia.

Pada tahun 2025, kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Amerika Serikat memberikan dampak signifikan terhadap berbagai negara, termasuk Vietnam. Meskipun terkena dampak tarif yang tinggi, Vietnam mampu mempertahankan posisinya sebagai eksportir manufaktur utama ke pasar AS. Data menunjukkan disparitas yang signifikan antara nilai ekspor manufaktur Vietnam dan Indonesia ke AS. Sementara ekspor Vietnam mencapai angka yang jauh lebih tinggi, Indonesia masih tertinggal meskipun memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Keunggulan Vietnam tidak hanya terbatas pada pasar AS, tetapi juga terlihat secara global. Total ekspor Vietnam jauh melampaui Indonesia, dengan dominasi produk manufaktur dalam struktur ekspornya. Sebaliknya, ekspor Indonesia masih bergantung pada bahan baku mentah dan produk olahan primer.

Perbedaan ini memunculkan pertanyaan kritis: mengapa Vietnam, tanpa kekayaan sumber daya alam seperti Indonesia, mampu mencapai kemajuan pesat dalam industrialisasi? Jawabannya terletak pada orientasi dan strategi yang berbeda. Vietnam fokus pada industrialisasi yang komprehensif, mencakup peningkatan produktivitas tenaga kerja, konektivitas logistik yang efisien, insentif investasi yang menarik, dan integrasi yang kuat dalam rantai pasok global. Indonesia, meskipun telah menjalankan kebijakan hilirisasi, belum sepenuhnya bertransformasi menjadi negara dengan basis manufaktur yang kompetitif.

Sejarah dan Tantangan Industrialisasi Indonesia

Indonesia sebenarnya memiliki sejarah industrialisasi yang signifikan. Di era Orde Baru, strategi substitusi impor diterapkan melalui pembangunan industri strategis di sektor-sektor penting seperti minyak dan gas, petrokimia, baja, otomotif, dan tekstil. Sektor manufaktur mencapai masa keemasan antara tahun 1985 dan 2000, dengan kontribusi yang signifikan terhadap PDB nasional. Namun, pasca-krisis ekonomi 1998, industrialisasi Indonesia mengalami stagnasi. Reformasi struktural tidak diiringi dengan konsistensi kebijakan industri, yang mengakibatkan penurunan kontribusi manufaktur terhadap PDB.

Stagnasi ini tidak hanya bersifat kuantitatif. Secara kualitatif, struktur industri Indonesia terjebak pada produk bernilai tambah rendah dan padat karya murah. Belum terjadi lompatan signifikan ke sektor industri dengan nilai tambah menengah-tinggi yang memerlukan penguasaan teknologi, R&D, dan proses produksi presisi tinggi. Terdapat sejumlah masalah yang menghambat industrialisasi di Indonesia.

  • Regulasi industri yang tidak stabil dan tumpang tindih: Indonesia tertinggal dari Vietnam dalam hal kualitas regulasi dan penegakan kontrak. Efektivitas perizinan, kepastian kebijakan industri, dan kecepatan layanan investasi masih menjadi keunggulan Vietnam.
  • Iklim hubungan industrial yang kurang kondusif: Aksi demonstrasi buruh dan ketidakpastian hubungan kerja menjadi disinsentif bagi investasi.
  • Efektivitas insentif investasi yang terbatas: Prosedur pengajuan insentif masih rumit dan belum sepenuhnya terintegrasi dengan pengembangan kawasan industri.
  • Iklim keamanan usaha yang belum sepenuhnya kondusif: Isu premanisme dan intimidasi terhadap pelaku usaha masih menjadi keluhan utama investor.
  • Kawasan industri dan logistik yang tidak terintegrasi: Sebagian besar kawasan industri di Indonesia belum memiliki akses langsung ke pelabuhan laut dalam atau jaringan moda logistik terpadu. Biaya logistik Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan Vietnam.

Untuk merevitalisasi industri nasional, Indonesia perlu belajar dari keberhasilan Vietnam dan mengatasi berbagai tantangan yang ada. Pemerintah perlu menciptakan regulasi yang stabil dan transparan, meningkatkan iklim hubungan industrial, memberikan insentif investasi yang efektif, menjamin keamanan usaha, dan mengembangkan kawasan industri yang terintegrasi dengan sistem logistik yang efisien.