Kemunculan Kembali Aliran Sesat di Maros: Motif Ekonomi di Balik Ajaran Sesat

Kemunculan Kembali Aliran Sesat di Maros: Motif Ekonomi di Balik Ajaran Sesat

Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan kembali dihadapkan pada permasalahan munculnya kembali aliran sesat Pangissengana Tarekat Ana' Loloa. Aliran ini, yang pertama kali teridentifikasi pada tahun 2024 di Dusun Bonto-bonto, Desa Bonto Somba, Kecamatan Tompobulu, telah meresahkan warga setempat. Kemunculan kembali aliran ini, menurut Kementerian Agama (Kemenag) Maros, didorong oleh motif ekonomi sang pemimpin, Petta Bau (59). Kasus ini menyoroti bahaya penyebaran ajaran sesat yang dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi.

Aliran Pangissengana Tarekat Ana' Loloa sebelumnya telah dinyatakan sesat karena sejumlah penyimpangan ajaran Islam. Salah satunya adalah penambahan rukun Islam menjadi 11 dan penggantian ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah dengan ziarah ke Gunung Bawakaraeng. Selain itu, aliran ini juga mengajarkan pengikutnya untuk membeli benda pusaka dengan harga sekitar Rp 500.000, yang diklaim sebagai kunci untuk masuk surga. Praktik ini menimbulkan kerugian ekonomi bagi pengikutnya dan merendahkan nilai-nilai fundamental ajaran Islam. Kepala Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Bonto-bonto, Marzuki, menjelaskan bahwa pemimpin aliran tersebut bahkan melarang pengikutnya membangun rumah dengan alasan akan terjadi kiamat, serta mendesak mereka untuk mengalokasikan dana tersebut untuk membeli benda pusaka.

Lebih memprihatinkan lagi, Petta Bau diketahui menyebarkan klaim palsu untuk meningkatkan kredibilitasnya. Ia mengaku sebagai ibu angkat Presiden Prabowo Subianto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, serta menyebut nama Seskab Mayor Teddy Indra Teddy. Klaim-klaim yang tidak berdasar ini menunjukkan upaya manipulasi dan penipuan yang dilakukan oleh Petta Bau untuk menarik simpati dan kepercayaan masyarakat.

Menanggapi hal ini, Kemenag Maros langsung turun tangan dengan melakukan pembinaan kepada warga dan pengikut aliran sesat tersebut. Kepala Kemenag Maros, Muhammad, menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan pembinaan sejak aliran ini dihentikan pada tahun 2024, namun kemunculan kembali aliran ini disebabkan oleh kondisi ekonomi sang pemimpin yang kekurangan uang. Upaya pembinaan ini melibatkan berbagai pihak, termasuk penyuluh agama, Babhinkantibmas, Baninsa, dan aparat desa. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat dan mencegah penyebaran ajaran sesat lebih lanjut.

Kasus ini menjadi pengingat penting akan pentingnya kewaspadaan masyarakat terhadap ajaran-ajaran yang menyimpang dari ajaran agama yang benar. Pembinaan dan edukasi keagamaan yang intensif sangat diperlukan untuk mencegah munculnya kembali kasus serupa di masa mendatang. Pemerintah dan lembaga terkait perlu meningkatkan pengawasan dan mengambil tindakan tegas terhadap individu-individu yang memanfaatkan agama untuk kepentingan ekonomi dan menyebarkan ajaran-ajaran yang menyesatkan.

Kesimpulan: Kasus kemunculan kembali aliran sesat di Maros ini menggarisbawahi pentingnya literasi keagamaan dan kewaspadaan masyarakat terhadap ajaran-ajaran sesat yang seringkali berlindung di balik klaim keagamaan. Motivasi ekonomi menjadi faktor pendorong utama penyebaran ajaran sesat ini, yang perlu ditangani secara komprehensif melalui pembinaan keagamaan dan penegakan hukum.