Intoleransi Bayangi Kekhusyukan Pekan Suci di Bandung dan Tangerang
Tragedi intoleransi merusak kesucian Pekan Suci bagi umat Katolik di Stasi Yohanes Rasul, Arcamanik, Bandung, dan Gereja POUK Tesalonika di Tangerang. Alih-alih menjadi momen refleksi mendalam akan pengorbanan Kristus, perayaan Paskah tahun 2025 diwarnai dengan pengalaman pahit akibat aksi-aksi intoleran yang mengganggu kekhusyukan ibadah.
Di Arcamanik, sejak Kamis Putih hingga Minggu Paskah, umat Katolik terus-menerus menghadapi gangguan dari kelompok yang mengatasnamakan kebebasan berpendapat. Dengan menggunakan pengeras suara bervolume tinggi, mereka melantunkan lagu-lagu dan orasi-orasi yang memekakkan telinga, menenggelamkan lantunan doa dan nyanyian liturgi. Akibatnya, umat yang hadir merasa terintimidasi, terutama anak-anak yang terpaksa keluar gereja karena kepanasan dan ketakutan. Beberapa umat bahkan memilih untuk berdoa di luar gedung atau di dalam kendaraan mereka.
Di Tangerang, nasib serupa menimpa umat Gereja POUK Tesalonika. Setelah tempat ibadah mereka dihentikan secara paksa sejak Maret 2024, mereka harus memindahkan kegiatan peribadatan ke aula kecamatan yang berjarak cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Ironisnya, setiap kali hendak mengadakan ibadah di hari-hari besar, mereka harus mengajukan izin terlebih dahulu kepada Camat. Bahkan, permohonan izin untuk ibadah Natal tidak mendapatkan respons. Pada peringatan Kenaikan Tuhan, mereka terpaksa menggelar ibadah di rumah-rumah warga.
Pada Jumat Agung, 18 April 2025, setelah mengirimkan surat permohonan izin sejak tanggal 15 April dan tidak kunjung mendapatkan balasan, umat Gereja POUK Tesalonika memutuskan untuk beribadah di gedung yayasan sendiri, dengan dukungan surat dari Komnas HAM. Namun, pada malam Kamis, Sekretaris Camat datang dan menyatakan "angkat tangan" jika umat tetap melanjutkan ibadah. Keesokan harinya, Sabtu, 19 April, gedung yayasan tersebut disegel setelah ibadah berlangsung dengan damai. Pihak kepolisian bahkan mengantarkan surat balasan dari Camat setelah ibadah selesai dan segel telah dipasang.
Peristiwa yang terjadi di Arcamanik dan Tangerang ini bukanlah insiden yang berdiri sendiri. Ini merupakan pola sistematis pembiaran, intimidasi, dan pembungkaman terhadap kebebasan beragama. Pertanyaannya, apakah kecaman semata cukup untuk mengatasi masalah ini? Tentu saja tidak. Para kepala daerah, mulai dari gubernur hingga wali kota, seharusnya merasa malu karena masih ada warganya yang harus memohon-mohon untuk dapat beribadah dengan tenang. Mereka seharusnya malu karena wilayah mereka menjadi tempat subur bagi tumbuh kembangnya intoleransi. Padahal, mereka dipilih oleh seluruh rakyat, termasuk mereka yang kini diintimidasi.
Jabatan publik bukan hanya soal kemampuan administratif, tetapi juga soal tanggung jawab moral untuk membela kebenaran dan keadilan. Seperti yang disampaikan oleh Romo Widyo, OSC, pemimpin Misa di Arcamanik, kasih sejati bukan berarti tunduk pada penindasan, melainkan berani bersuara saat ketidakadilan terjadi. Umat Katolik di Arcamanik dan umat Gereja POUK Tesalonika telah menunjukkan keberanian spiritual. Sekarang, saatnya negara menunjukkan keberanian moral untuk melindungi hak setiap warga negara untuk beribadah dengan bebas dan tenang. Jika hak beribadah saja tidak dapat dilindungi, lalu apa artinya konstitusi?
Negara ini tidak akan hancur karena perbedaan iman, tetapi bisa hancur jika memilih diam saat kebencian dibiarkan merajalela. Sudah saatnya kita bersuara, bukan hanya demi satu agama, tetapi demi kemanusiaan, konstitusi, dan masa depan Indonesia yang beradab.