Kardinal Suharyo Soroti Kesenjangan Sosial di Indonesia, Mengutip Pidato Nasaruddin Umar
Dalam perayaan Paskah 2025, Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo, menyoroti isu krusial mengenai kesenjangan sosial yang masih menjadi tantangan di tengah masyarakat Indonesia. Perhatian terhadap masalah ini diungkapkan dalam konferensi pers yang digelar di Gereja Katedral Jakarta, Minggu (20/4/2025).
Kardinal Suharyo mengawali penjelasannya dengan merujuk pada ajaran Gereja Katolik yang menekankan pentingnya kehidupan sosial dan kemanusiaan, termasuk upaya kolektif untuk mencapai kebaikan bersama. Kebaikan bersama ini, menurutnya, sejalan dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, khususnya sila kelima yang menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun, Kardinal Suharyo mempertanyakan apakah cita-cita kesejahteraan tersebut telah sepenuhnya terwujud bagi seluruh lapisan masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan ini, beliau mengutip pernyataan dari Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, yang menggambarkan realitas pahit masih adanya "luka-luka kemerdekaan" di tengah perayaan kemerdekaan bangsa.
"Indonesia ini sudah sejahtera semua atau belum? Saya tidak menjawab pendapat saya, saya kutip saja apa yang dikatakan oleh Bapak Nasaruddin Umar, Imam Besar di Masjid sebelah, Masjid Istiqlal," ucapnya.
Lebih lanjut, Kardinal Suharyo menjelaskan bahwa "luka-luka kemerdekaan" yang dimaksud oleh Nasaruddin Umar merujuk pada kesenjangan sosial yang semakin lebar antara kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan dan sumber daya dengan mereka yang kurang beruntung. Perbedaan mencolok antara si kaya dan si miskin menjadi perhatian utama yang perlu diatasi bersama.
Untuk mengatasi kesenjangan ini, Kardinal Suharyo mengajak seluruh umat Katolik untuk berkontribusi secara aktif dalam berbuat kebaikan, dimulai dari lingkungan terdekat. Tindakan kebaikan ini harus disesuaikan dengan konteks dan peran gereja secara umum, sehingga dapat memberikan dampak positif yang signifikan bagi masyarakat.
Kardinal Suharyo juga memberikan contoh konkret bagaimana umat Katolik dapat berpartisipasi dalam upaya mengurangi kesenjangan sosial. Beberapa diantaranya adalah:
- Mendukung program-program pemberdayaan masyarakat: Gereja dapat berperan aktif dalam mendukung program-program yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan, pendidikan, dan akses terhadap sumber daya bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu.
- Berpartisipasi dalam kegiatan sosial: Umat Katolik dapat terlibat dalam kegiatan sosial seperti memberikan bantuan kepada korban bencana alam, mengunjungi orang sakit, atau menjadi sukarelawan di lembaga-lembaga sosial.
- Mengadvokasi kebijakan yang adil: Gereja dapat menggunakan pengaruhnya untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan publik yang berpihak pada kelompok masyarakat yang rentan dan marginal.
- Menjadi teladan dalam gaya hidup sederhana: Umat Katolik dapat menunjukkan solidaritas terhadap kelompok masyarakat yang kurang mampu dengan mengadopsi gaya hidup yang sederhana dan tidak konsumtif.
Dengan melakukan tindakan-tindakan kebaikan yang nyata, Kardinal Suharyo berharap umat Katolik dapat menjadi agen perubahan yang positif dalam mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kesenjangan sosial bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab moral setiap warga negara untuk berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.