AS Khawatir Kebijakan Pembayaran Digital Indonesia Hambat Perdagangan, Tarif Impor Jadi Sorotan
Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyoroti sejumlah kebijakan keuangan Indonesia yang dinilai berpotensi menghambat arus perdagangan internasional, khususnya bagi perusahaan-perusahaan AS. Sorotan utama tertuju pada implementasi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), yang dianggap membatasi akses dan opsi pembayaran elektronik lintas batas.
Kekhawatiran ini terungkap dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang diterbitkan oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR). Laporan tersebut mengidentifikasi hambatan-hambatan perdagangan dari 59 negara mitra dagang AS, termasuk Indonesia, dengan fokus pada kebijakan yang dapat menghambat perdagangan digital dan elektronik.
USTR menyoroti beberapa poin krusial terkait QRIS dan GPN:
- QRIS: Penetapan QRIS sebagai standar nasional untuk semua pembayaran berbasis kode QR di Indonesia dinilai kurang melibatkan pemangku kepentingan asing dalam proses penyusunannya. Perusahaan-perusahaan AS mengkhawatirkan kurangnya konsultasi dan kesempatan untuk memberikan masukan terkait sistem yang dapat berinteraksi dengan sistem pembayaran yang sudah ada.
- GPN: Kewajiban Bank Indonesia (BI) yang mengharuskan semua transaksi debit dan kredit ritel domestik diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan berlisensi oleh BI dipandang membatasi opsi lintas batas dan menciptakan hambatan pasar. Aturan ini diperkuat dengan pembatasan ekuitas asing sebesar 20 persen pada perusahaan yang ingin memperoleh lisensi switching untuk berpartisipasi dalam GPN, serta larangan penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik.
- Kartu Kredit Pemerintah: Mandat BI pada Mei 2023 yang mewajibkan pemrosesan kartu kredit pemerintah melalui GPN dan penggunaan serta penerbitan kartu kredit pemerintah daerah menimbulkan kekhawatiran bagi perusahaan pembayaran AS, karena dianggap membatasi akses penggunaan opsi pembayaran elektronik AS.
Selain isu QRIS dan GPN, USTR juga menyoroti pembatasan kepemilikan bank oleh satu pemegang saham, baik asing maupun domestik, yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 56/03/2016. Meskipun OJK dapat memberikan pengecualian dalam kasus tertentu, aturan ini tetap menjadi perhatian.
Kebijakan-kebijakan tersebut menjadi salah satu pertimbangan utama bagi AS dalam mengenakan potensi tarif impor resiprokal, atau yang dikenal sebagai tarif Trump, sebesar 32 persen terhadap produk impor Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menanggapi kekhawatiran ini dengan menemui perwakilan AS untuk melakukan negosiasi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa pemerintah telah mempersiapkan non-paper yang komprehensif, mencakup isu tarif, hambatan non-tarif, investasi, dan kerja sama di sektor keuangan. Ketua OJK juga turut hadir dalam pertemuan tersebut untuk membahas seluruh isu secara mendalam.
Saat ini, proses negosiasi masih berlangsung, dan kedua negara telah sepakat untuk menindaklanjuti isu ini pada tingkat teknis. Targetnya adalah menyelesaikan kerangka perjanjian dalam waktu 60 hari ke depan. Pihak AS menyetujui bahwa isu kebijakan tarif dan kerja sama bilateral RI-AS akan dibahas dan diselesaikan dalam jangka waktu tersebut.