Jurang Keterampilan Lulusan SMK dan Kebutuhan Industri: Mampukah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Menjembatani?

Pengangguran Lulusan SMK dan Kesenjangan Keterampilan

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2024 menunjukkan angka pengangguran di Indonesia mencapai 7,47 juta jiwa. Meskipun terjadi penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, ironisnya lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masih mendominasi angka pengangguran tertinggi dibandingkan jenjang pendidikan lainnya. Fenomena ini mengindikasikan adanya kesenjangan antara keterampilan yang diajarkan di SMK dengan kebutuhan riil di dunia industri.

Fahmi Sutan Alatas, Head of CSR Department PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), mengungkapkan hasil survei internal yang menunjukkan bahwa 6% pengangguran berasal dari lulusan SMK. Survei tersebut juga menyoroti beberapa tantangan utama yang dihadapi oleh pendidikan vokasi, terutama di lembaga pendidikan swasta. Di antaranya adalah keterbatasan infrastruktur sekolah dan kurangnya mobilitas lulusan untuk mencari pekerjaan di luar wilayah tempat tinggal mereka.

TBIG sendiri berupaya mengatasi kesenjangan ini melalui program CSR yang berfokus pada peningkatan kualitas kurikulum SMK. Program ini menghadirkan kurikulum unggulan dengan added value melalui pelatihan intensif yang melibatkan tenaga ahli di berbagai daerah. TBIG mengundang guru-guru dari sekolah mitra untuk mengikuti pelatihan gratis, dan lulusan dari sekolah kerja sama diprioritaskan untuk disalurkan ke rantai pasok TBIG.

Achmad Irfan, alumni SMK Setia Darma Palembang, merasakan manfaat langsung dari program pelatihan TBIG. Ia mengaku langsung diterima bekerja di PT CSA setelah lulus sekolah. Program ini membantunya dalam belajar dan mencari pekerjaan, sehingga ia tidak lagi merasa kebingungan setelah lulus.

Tantangan Implementasi Kurikulum dan Kebutuhan Industri

M Andika Prawira, guru SMK 11 Maret Bekasi, menyoroti bahwa kurikulum yang ada saat ini, khususnya untuk jurusan teknik komputer jaringan, hanya memberikan pengantar singkat mengenai fiber optik. Padahal, industri membutuhkan tenaga siap pakai dengan keahlian yang mendalam di bidang tersebut. SMK 11 Maret menyiasatinya dengan mengintegrasikan kurikulum fiber optik dari TBIG ke dalam kurikulum sekolah.

Rahmat, guru SMK di Sulawesi Tenggara, menghadapi tantangan serupa. Meskipun kurikulum dari pemerintah dianggap sudah baik, sekolahnya kekurangan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan industri. Selain itu, industri yang relevan dengan jurusan pengembangan perangkat lunak dan gim masih minim di daerahnya, sehingga siswa harus pergi ke kota lain untuk mencari pengalaman kerja yang sesuai.

Seorang guru SMK di Malang yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan perlunya sinkronisasi antara kurikulum dan kebutuhan industri. Pihaknya secara rutin mengundang perwakilan industri di awal semester untuk memberikan masukan mengenai keterampilan yang dibutuhkan, yang kemudian diadaptasi ke dalam kurikulum sekolah.

Namun, Nani, guru SMK di Sulawesi Tenggara, memiliki pandangan berbeda. Ia menilai kurikulum yang ada sudah sesuai dengan kebutuhan industri, terutama dengan penerapan Kurikulum Merdeka yang menitikberatkan pada pembelajaran berbasis proyek. Untuk jurusan nautika kapal niaga (NKN), lulusannya banyak diterima di industri, meskipun seringkali industri menerapkan persyaratan tambahan seperti sertifikat dan izin berlayar yang harus diperoleh melalui lembaga pelatihan eksternal.

Respons Kementerian Pendidikan

Pelaksana Tugas Direktur SMK Kemendikdasmen, Dr. Arie Wibowo Khurniawan, menjelaskan bahwa kurikulum SMK saat ini sudah fleksibel. Titik beratnya bukan pada dokumen kurikulum, melainkan pada kemampuan guru untuk menerjemahkan standar kurikulum sesuai dengan konteks di lapangan. Ia mengakui bahwa sebagian besar guru kejuruan belum pernah mengikuti pelatihan yang memadai, baik karena tidak ditugaskan oleh kepala sekolah maupun karena keterbatasan anggaran.

Dr. Arie mencontohkan era Presiden Soeharto ketika guru kejuruan diwajibkan mengikuti pelatihan di balai-balai pengembangan vokasi milik pemerintah. Saat ini, banyak guru baru hanya mengandalkan ijazah S1. Oleh karena itu, Kemendikdasmen mendorong sekolah untuk mengirimkan guru secara mandiri ke industri untuk belajar dan meningkatkan keterampilan mereka. Kementerian juga tengah berupaya mencari solusi agar guru-guru SMK dapat mengikuti pelatihan secara rutin.

Peran dan Hakikat CSR

Aniek Murniati, Ssos, MSAk menjelaskan bahwa Corporate Social Responsibility (CSR) adalah konsep tanggung jawab perusahaan atas dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan bisnisnya. Tanggung jawab ini bersifat wajib dan tidak dapat dihindari. Maulina Pia Wulandari, PhD, pakar public relations dan manajemen isu dan krisis komunikasi Universitas Brawijaya (UB), menambahkan bahwa CSR merupakan komitmen sukarela perusahaan untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, termasuk kesejahteraan masyarakat dan perlindungan lingkungan.

CSR bukan sekadar amal sosial, melainkan bagian dari strategi bisnis yang beretika dan bertanggung jawab. CSR adalah kewajiban moral dan sosial karena perusahaan mengambil sumber daya dari masyarakat dan lingkungan. CSR juga merupakan strategi jangka panjang untuk membangun reputasi, kepercayaan publik, dan keberlanjutan usaha. Di Indonesia, CSR merupakan kegiatan wajib bagi perusahaan yang beroperasi di bidang sumber daya alam atau yang berdampak pada lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam Pasal 74 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan terkait lainnya.

Maulina Pia mengingatkan bahwa program CSR harus dirancang untuk memberikan kapasitas kepada komunitas agar mandiri, mendorong pertumbuhan jangka panjang, dan memastikan dampak sosial yang nyata. Keberlanjutan CSR mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (Triple Bottom Line). Oleh karena itu, perusahaan perlu mendukung ekonomi lokal, menjaga keseimbangan ekologi, dan meningkatkan kapasitas sosial masyarakat.

CSR Sebagai Solusi Pendidikan?

Maulina Pia menilai program CSR dapat menjadi solusi dalam permasalahan pendidikan apabila dirancang secara strategis dan kolaboratif. CSR dapat menjadi solusi struktural melalui beasiswa jangka panjang, pengembangan kurikulum berbasis kebutuhan industri, pelatihan guru dan fasilitas sekolah di daerah terpencil, serta penyediaan teknologi pendidikan. Namun, CSR hanya menjadi penunjang apabila sifatnya sporadis seperti membagikan alat tulis atau mengecat sekolah.

Bagi komunitas atau lembaga yang menerima tawaran CSR, penting untuk memperhatikan kesesuaian kebutuhan, keberlanjutan program, transparansi dan komunikasi, hak dan kewajiban kedua pihak, serta nilai kebermanfaatan jangka panjang. Program CSR harus sesuai dengan kebutuhan nyata komunitas dan memberikan dampak yang berkelanjutan, bukan hanya insentif sesaat.