Fenomena 'Fotografer Pelari' di CFD Renon Denpasar: Antara Peluang Ekonomi dan Privasi Pengguna

Demam 'fotografer pelari', sebuah tren yang menawarkan jasa dokumentasi visual bagi para peserta lari di ruang publik, kini menjangkau Denpasar, khususnya pada kegiatan Car Free Day (CFD) di kawasan Renon. Kehadiran mereka, yang mengabadikan momen-momen olahraga para pelari dan mengunggahnya ke platform digital seperti Fotoyu, memicu perdebatan sengit di tengah masyarakat.

Fotoyu, sebuah aplikasi yang mengandalkan teknologi pengenalan wajah, menjadi wadah bagi para fotografer ini untuk menjajakan hasil jepretan mereka. Pelari yang berminat dapat dengan mudah menemukan foto diri mereka melalui aplikasi tersebut setelah melakukan pendaftaran. Namun, kemudahan ini juga memunculkan pertanyaan terkait etika dan privasi.

Pro dan Kontra di Media Sosial

Kehadiran fotografer pelari di CFD Renon tidak lepas dari sorotan publik, khususnya di media sosial. Sebagian warganet mengkritik aktivitas ini, menilai bahwa pengambilan foto tanpa izin melanggar privasi para pelari. Mereka berpendapat bahwa ruang publik seharusnya tetap memberikan rasa aman dan nyaman bagi semua orang, termasuk mereka yang tidak ingin menjadi objek fotografi.

Di sisi lain, ada pula yang melihat fenomena ini sebagai peluang ekonomi kreatif. Mereka berpendapat bahwa para fotografer telah memberikan nilai tambah bagi kegiatan CFD, yaitu dokumentasi visual yang dapat dinikmati oleh para peserta lari. Selain itu, mereka juga berargumen bahwa para pelari memiliki pilihan untuk tidak membeli foto mereka jika memang merasa tidak nyaman.

Respons dari Kalangan Fotografer

Gading, seorang fotografer pelari yang aktif di CFD Renon, menyadari adanya pro dan kontra terkait aktivitasnya. Ia menekankan pentingnya menjaga etika dan menghormati kenyamanan publik saat memotret di ruang terbuka.

"Teman-teman jangan terlalu berlebihan lah mengambil foto, misalkan ada properti yang tidak seharusnya di situ jadi sebaiknya kalau kita ingin foto kita harus memperhatikan tempat dan etikanya," ujarnya.

Gading juga mengakui bahwa belum ada regulasi yang jelas mengenai aktivitas fotografi di ruang publik. Oleh karena itu, ia menganggap etika sebagai pedoman utama dalam menjalankan profesinya.

Sejauh ini, Gading mengaku belum pernah menerima keluhan langsung dari para pelari. Namun, ia tetap membuka diri terhadap masukan dan kritik. Ia bahkan menyarankan agar para pelari yang tidak ingin difoto memberikan tanda penolakan dengan menyilangkan tangan.

Keluhan dari Pelari

Meski ada yang mendukung, tidak sedikit pula pelari yang merasa terganggu dengan kehadiran fotografer. Seorang pelari yang enggan disebutkan namanya mengaku risih saat berolahraga karena banyaknya fotografer yang berjaga di sepanjang lintasan.

"Iya aku juga risi," katanya.

Ia merasa sulit untuk menghindar dari sorotan kamera, terutama saat fotografer tiba-tiba berdiri di depannya. Selain saat CFD, ia juga rutin berolahraga setiap sore di Lapangan Renon.

Menjaga Keseimbangan

Fenomena 'fotografer pelari' di CFD Renon Denpasar menunjukkan adanya dinamika antara peluang ekonomi, privasi, dan etika di ruang publik. Perlu adanya dialog dan kesepahaman antara semua pihak terkait, mulai dari fotografer, pelari, pemerintah daerah, hingga masyarakat umum, untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dan saling menghormati.