Mengapa Produk Tiruan Tetap Laris Manis di Pasaran?
Fenomena produk bajakan atau tiruan masih menjadi isu pelik di Indonesia. Meskipun pemerintah telah berupaya menekan peredarannya, faktanya, produk-produk ilegal ini tetap memiliki pangsa pasar yang signifikan. Baru-baru ini, pasar Mangga Dua bahkan menjadi sorotan pemerintah Amerika Serikat karena disinyalir menjadi pusat penjualan produk-produk bajakan.
Lantas, apa yang menyebabkan produk bajakan tetap diminati? Beberapa faktor mendasarinya. Salah satunya adalah faktor ekonomi. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa daya beli masyarakat yang terbatas menjadi pendorong utama. Harga yang jauh lebih murah menjadi daya tarik utama bagi konsumen dengan anggaran terbatas. Mereka lebih memilih produk tiruan dengan harga terjangkau, meskipun kualitasnya tidak sebanding dengan produk asli.
Selain itu, fenomena Fear of Missing Out (FOMO) juga turut berperan. Masyarakat cenderung ingin memiliki barang-barang bermerek terkenal, meskipun harus membeli versi palsunya. Hal ini didorong oleh keinginan untuk mengikuti tren dan gaya hidup yang populer di kalangan tertentu.
Bhima Yudhistira juga menyoroti lemahnya pengawasan dan penegakan hukum sebagai faktor lain yang berkontribusi terhadap maraknya peredaran barang bajakan. Gerbang masuk barang ilegal di perbatasan yang cukup banyak, serta kurangnya sanksi bagi konsumen yang membeli barang palsu, membuat praktik ini sulit diberantas. Terlebih lagi, penjualan barang palsu masih marak terjadi di berbagai marketplace dan toko fisik.
Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, menambahkan bahwa produk bajakan sudah ada sejak lama dan terus berkembang mengikuti tren. Selain harga yang murah, konsumen juga tertarik karena produk bajakan seringkali menawarkan model atau desain yang serupa dengan produk asli, sehingga mereka merasa mendapatkan nilai yang sepadan dengan uang yang dikeluarkan.
Upaya Pemberantasan
Untuk mengatasi masalah ini, Bhima Yudhistira menekankan pentingnya memperketat pengawasan masuknya barang impor ilegal di kawasan pabean hingga perbatasan. Ia juga mengusulkan pemberian sanksi tegas kepada pedagang dan produsen barang palsu, seperti pencabutan izin usaha hingga pidana. Selain itu, edukasi kepada masyarakat, khususnya generasi muda, mengenai pentingnya membeli barang asli juga sangat diperlukan.
Esther Sri Astuti juga menggarisbawahi perlunya menjaga harga barang original tetap terjangkau agar selisih harga dengan produk bajakan tidak terlalu besar. Pemerintah juga harus menunjukkan ketegasan dalam memberantas peredaran produk bajakan dengan tindakan nyata di lapangan.
Sorotan dari Amerika Serikat
Isu produk bajakan di Indonesia juga menjadi perhatian pemerintah Amerika Serikat. Dalam laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis pada akhir Maret 2025, United State Trade Representative (USTR) menyoroti Pasar Mangga Dua sebagai salah satu tempat penjualan produk bajakan. USTR juga memasukkan Indonesia ke dalam Daftar Pantauan Prioritas dalam Laporan Khusus 301 tahun 2024.
USTR mengakui bahwa Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan perlindungan dan penegakan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Namun, mereka tetap menyampaikan kekhawatiran terkait pembajakan hak cipta dan pemalsuan merek dagang yang masih meluas, baik secara daring maupun di pasar fisik.
Berikut adalah langkah-langkah yang diusulkan untuk mengatasi masalah produk bajakan:
- Memperketat pengawasan di perbatasan dan kawasan pabean.
- Memberikan sanksi tegas kepada pedagang dan produsen barang palsu.
- Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya membeli barang asli.
- Menjaga harga barang original tetap terjangkau.
- Meningkatkan penegakan hukum terhadap pelanggaran HKI.
Dengan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan, diharapkan peredaran produk bajakan di Indonesia dapat ditekan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menghargai hak kekayaan intelektual dapat ditingkatkan.