Lawa Mori: Gerbang Maritim dan Perdagangan Kuno Sumbawa yang Terlupakan
Lawa Mori, sebuah nama yang mungkin asing bagi sebagian orang, menyimpan sejarah panjang sebagai pelabuhan dan jalur perniagaan tertua di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Rencananya, pada tahun 2026, kawasan ini akan dihubungkan dengan jembatan dan jalan baru, membuka kembali aksesibilitas ke lokasi yang dulunya ramai aktivitas perdagangan.
Menurut sejarawan Bima, Fahru Rizki, penamaan yang tepat adalah Lawa Mori, bukan Lewa Mori. Istilah ini berasal dari bahasa Mbojo (Bima), dengan 'Lawa' yang diadaptasi dari bahasa Jawa 'lawang' yang berarti pintu, dan 'Mori' yang berarti kehidupan. Secara keseluruhan, Lawa Mori dapat diartikan sebagai 'gerbang kehidupan', bukan hanya dalam konteks pelabuhan, tetapi juga sebagai pintu gerbang kebudayaan, perniagaan, dan peradaban.
Pusat Perdagangan Multikultural
Lawa Mori bukan hanya sekadar pelabuhan. Catatan sejarah menunjukkan bahwa Lawa Mori menjadi pusat pertemuan lintas peradaban. Tome Pires, seorang penulis Portugis, mencatat keberadaan pelabuhan ini sebagai bagian penting dari jaringan perdagangan di wilayah tersebut. Lebih dari sekadar tempat jual beli, Lawa Mori juga menjadi titik masuknya pengaruh Islam melalui pedagang dari Arab, Sumatra, dan Ternate.
Sebelum berdirinya Pelabuhan Lawa Due yang difungsikan sebagai pangkalan militer oleh Makapiri Solor dari Ternate, Lawa Mori telah lebih dulu eksis sebagai pusat perniagaan berbagai komoditas. Kuda menjadi salah satu komoditas utama yang diperdagangkan di Lawa Mori pada abad ke-14 dan ke-15 Masehi.
Strategisnya lokasi Lawa Mori memberikan keuntungan tersendiri. Pelabuhan ini terlindung dari angin timur dan utara, menjadikannya tempat yang aman bagi kapal-kapal yang berlayar ke selatan untuk mengambil garam di Godo. Produksi garam di pesisir selatan Lawa Mori mulai dikembangkan secara signifikan pada masa pemerintahan Raja Bicara Abdul Hamid dari Kesultanan Bima. Garam Bima bahkan menjadi komoditas unggulan pada tahun 1930-an dan dipasarkan hingga Sulawesi dan Batavia melalui Pelabuhan Lawa Mori.
Kondisi Terkini dan Harapan Baru
Untuk mencapai Lawa Mori dari Kota Bima, dibutuhkan waktu sekitar 15-20 menit menggunakan sepeda motor. Sebelum rencana pembangunan infrastruktur baru muncul, Lawa Mori sempat menjadi pelabuhan pengangkut garam hasil produksi warga sekitar yang akan dikirim ke wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) seperti Reo dan Labuhan Bajo.
Sayangnya, saat ini kondisi pelabuhan Lawa Mori terkesan terlantar. Masyarakat setempat lebih sering memanfaatkan tempat ini untuk memancing dan menikmati pemandangan laut di sore hari. Pembangunan jembatan dan jalan penghubung pada tahun 2026 diharapkan dapat menghidupkan kembali Lawa Mori, mengembalikan kejayaan masa lalunya sebagai gerbang maritim dan pusat perdagangan yang penting bagi Sumbawa.