Refleksi Hari Kartini: Ketika Negara Berbicara, Perempuan Dibungkam?

Refleksi Hari Kartini: Ketika Negara Berbicara, Perempuan Dibungkam?

Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini, sebuah momen yang identik dengan kebaya, lomba tumpeng, dan pidato-pidato yang memuja perempuan sebagai pilar bangsa. Namun, di balik seremoni tersebut, muncul pertanyaan mendasar: Sudahkah negara benar-benar berpihak kepada perempuan?

Peringatan Hari Kartini seharusnya bukan sekadar perayaan simbolik, melainkan refleksi mendalam terhadap warisan pemikiran seorang tokoh emansipasi. Kartini adalah suara protes yang lantang, bukan sekadar simbol yang dipajang. Untuk menghormati perjuangannya, perlu adanya evaluasi jujur terhadap hubungan antara perempuan dan negara.

Gema Tanpa Suara

Ketika negara berbicara tentang perempuan, seringkali yang terdengar hanyalah gema. Gema dari ruang-ruang sidang yang tersterilisasi dari pengalaman perempuan, gema dari podium seremonial yang gemar memuji perempuan sebagai "pilar bangsa" tanpa pernah menanyakan bagaimana rasanya menjadi pilar yang terus retak akibat beban struktural.

Dalam pidato-pidato resmi, perempuan dipanggil dengan sebutan yang terhormat: ibu, bunda, kartini, srikandi. Namun, dalam kebijakan dan hukum, suara mereka direduksi menjadi angka, program, dan indikator. Negara mencintai perempuan dalam bentuk simbolik, tetapi seringkali gagal mencintai mereka sebagai subjek yang hidup dalam tubuh dan luka.

Strategi Kesetaraan yang Menguap

Indonesia dikenal rajin menyusun strategi kesetaraan gender, mulai dari RPJMN hingga SDG’s Goal 5. Namun, ironisnya, perempuan tetap menjadi kelompok yang paling sering dilupakan dalam pengambilan keputusan. Contohnya, penyusunan UU penting seperti Omnibus Law Cipta Kerja dilakukan tanpa melibatkan buruh perempuan yang terdampak langsung oleh deregulasi. Revisi KUHP juga diloloskan dengan pasal-pasal kesusilaan yang berpotensi menghukum korban, bukannya pelaku. RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga pun tak kunjung disahkan selama dua dekade.

Negara berbicara dalam bahasa birokrasi, sementara perempuan berbicara dari perut yang lapar, rahim yang dilecehkan, tubuh yang dijadikan instrumen politik moral. Sayangnya, kedua bahasa ini seringkali tidak terhubung.

Komnas Perempuan setiap tahun merilis Catatan Tahunan yang menunjukkan peningkatan angka kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. Kasus perkawinan anak juga terus terjadi di bawah karpet adat. Namun, respons negara seringkali tidak secepat data. Negara lebih sibuk menyusun rencana aksi, forum lintas kementerian, dan berbagai draf.

Negara sebenarnya memiliki semua alat yang dibutuhkan, seperti BPS, KemenPPPA, LSM, dan teknologi big data. Namun, masalahnya bukan pada ketidaktahuan, melainkan pada ketidakpedulian. Perempuan seringkali hanya dihitung saat dibutuhkan, misalnya dalam pemilu sebagai pemilih, dalam statistik sebagai penerima bansos, atau dalam pembangunan sebagai target, bukan subjek.

Minimnya Representasi Perempuan

Dari total 48 menteri dalam kabinet pemerintahan saat ini, hanya 5 yang perempuan. Dari 481 kepala daerah hasil Pilkada terakhir, hanya 43 yang perempuan. Di DPR RI, dari 580 anggota, hanya 127 yang perempuan, dan sebagian besar berasal dari lingkaran politik dinasti atau keluarga elite partai. Keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan masih tersandera sistem patriarkis dan pragmatisme politik elektoral.

Dalam sistem politik yang didominasi laki-laki, kebijakan cenderung bias gender. Perempuan seringkali hanya masuk dalam kategori "penerima manfaat" tanpa dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan. Mereka dicatat, tetapi jarang diajak bicara.

Negara dan Tubuh Perempuan

Negara seringkali senang mengatur tubuh perempuan, mulai dari cara berpakaian hingga urusan moral, tetapi enggan melindungi tubuh yang disakiti. Kekerasan terhadap perempuan bukan sekadar tindakan individual, melainkan bentuk kegagalan negara melindungi warganya dan cermin sistemik dari relasi kuasa yang timpang.

Ketika seorang perempuan diperkosa di rumah dan aparat menyuruhnya "memaafkan demi keluarga", itu adalah kekerasan negara. Ketika seorang PRT dianiaya majikan dan negara tidak memiliki payung hukum untuk membelanya, itu juga adalah kekerasan negara. Ketika seorang mahasiswi dilecehkan dosen dan kampus bungkam karena pelaku adalah guru besar, itu pun merupakan kekerasan negara.

UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) adalah langkah penting, tetapi satu undang-undang tidak cukup jika sistem hukum dan budaya aparatnya masih misoginis. UU TPKS hanyalah jendela, sementara dinding ruang keadilan masih gelap.

Proses hukum terhadap pelaku kekerasan seksual seringkali lambat, berbelit, dan menjatuhkan korban dalam reviktimisasi. Seolah-olah korban harus membuktikan bukan hanya bahwa ia disakiti, tetapi juga bahwa ia layak untuk diselamatkan.

Negara hadir lewat undang-undang, tetapi perempuan membutuhkan negara yang hadir lewat pendampingan, perlindungan, dan keberpihakan di ruang sidang.

Di banyak tempat, negara justru hadir untuk mengatur tubuh perempuan, bukan melindunginya. Hal ini terlihat dalam regulasi berpakaian, pengawasan moral terhadap konten perempuan, dan pembatasan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi.

Tubuh perempuan seringkali dianggap sebagai "milik bersama". Negara merasa berhak ikut mengatur, mengawasi, dan bahkan menghakimi. Namun, saat tubuh itu dilukai, negara seringkali lambat, kaku, dan diam.

Perempuan yang ingin aborsi karena pemerkosaan harus menghadapi prosedur medis dan hukum yang panjang, sementara pelaku pemerkosaan bisa bebas karena "tidak cukup alat bukti". Negara seolah lebih khawatir pada moral publik daripada pada penderitaan warganya.

Menuju Negara yang Setara

Negara yang setara gender bukanlah negara yang hanya menambah kuota perempuan, lalu merasa selesai. Melainkan negara yang mengubah cara kerja, dari vertikal menjadi partisipatif, dari prosedural menjadi empatik. Negara yang adil gender bukan negara yang memuji perempuan sebagai ibu, tetapi memperlakukan mereka sebagai warga negara seutuhnya, dengan hak, suara, dan agensi.

Kartini, jika hidup hari ini, mungkin tidak bangga jika namanya hanya dijadikan simbol tanpa menjalankan pemikirannya. Ia menulis tentang kesetaraan, tetapi negara masih bicara soal kodrat. Ia menulis tentang pendidikan dan kebebasan, tetapi negara masih mengatur pakaian dan perilaku perempuan.

Kartini tidak meminta perempuan disayangi, melainkan dihormati. Penghormatan itu tidak lahir dari bunga di pundak, tetapi dari perlindungan yang nyata.

Kesetaraan gender bukan soal pilihan politik, melainkan mandat konstitusi. Negara yang abai pada perempuan adalah negara yang melanggar keadilan sosial.

Karena itu, negara tidak boleh netral. Dalam dunia yang timpang, netralitas adalah keberpihakan pada yang kuat.

Perempuan telah berjalan jauh tanpa negara. Kini saatnya negara berjalan bersama mereka, bukan di depan, bukan di belakang, tetapi di samping, dengan telinga terbuka dan hati yang bersedia berubah.

Perempuan tidak butuh pujian, mereka butuh negara yang hadir dan berpihak.