Perjuangan Annisa: Dari Guru Bergaji Rendah hingga Kondektur Bus Demi Masa Depan Anak
Di tengah hiruk pikuk Terminal Purabaya, Sidoarjo, Annisa, seorang wanita berusia 40 tahun, berdiri tegar menanti bus yang akan membawanya pada perjalanan mencari nafkah. Pemandangan ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya selama empat tahun terakhir. Annisa bukan seorang penumpang, melainkan seorang kondektur bus PO Ladju, seragam biru elektriknya menjadi identitas di tengah kerumunan.
Panasnya aspal, desakan penumpang, dan aroma khas terminal tak pernah membuatnya gentar. Sebagai kondektur, Annisa bertanggung jawab atas penarikan ongkos, melayani penumpang, dan memastikan perjalanan bus berjalan lancar. Pekerjaan ini ia tekuni sejak tahun 2021, di tengah badai pandemi yang melanda, ketika tawaran dari seorang teman membuka lembaran baru dalam hidupnya.
Namun, menjadi kondektur bukanlah pilihan pertama Annisa. Sebelumnya, ia adalah seorang guru Bahasa Indonesia di sebuah SMA swasta di Pamekasan, Madura. Sayangnya, upah yang ia terima jauh dari kata layak. Hanya seratus ribu rupiah per bulan, jumlah yang bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kondisi inilah yang mendorongnya untuk mencari alternatif pekerjaan yang lebih menjanjikan.
Keputusan untuk banting setir menjadi kondektur tidaklah mudah. Annisa harus beradaptasi dengan lingkungan kerja yang didominasi laki-laki, menghadapi berbagai tantangan, termasuk pelecehan verbal dan anggapan remeh dari sebagian penumpang. Namun, ia tak pernah menyerah. Dengan berbekal keberanian, kemampuan berkomunikasi, dan mental yang kuat, Annisa berhasil mengatasi setiap rintangan.
"Pernah dilecehkan secara verbal, tapi ya tidak usah dilayani, cuekin aja," ujarnya dengan nada tegas. Ia juga mengaku seringkali menghadapi penumpang yang pura-pura tidur agar tidak membayar ongkos. Namun, Annisa sudah hafal dengan berbagai modus tersebut dan tak segan untuk menagih haknya.
Di balik kerasnya kehidupan terminal, Annisa memiliki motivasi yang kuat: sang buah hati yang berada di kampung halaman. Ia rela jarang pulang demi memastikan anaknya mendapatkan yang terbaik. Setiap bulan, sebagian besar penghasilannya ia kirimkan ke Pamekasan untuk biaya hidup dan pendidikan anaknya.
"Anak tak titipkan ke ibu," jawabnya singkat ketika ditanya tentang keberadaan anaknya. Rindu memang menjadi teman setia dalam kesendiriannya di tanah rantau. Namun, Annisa meyakini bahwa perjuangannya saat ini adalah investasi untuk masa depan yang lebih baik bagi sang anak.
Penghasilan Annisa sebagai kondektur memang tidak menentu. Pada hari biasa, ia bisa mengantongi sekitar seratus ribu rupiah. Namun, saat musim mudik atau libur panjang, pendapatannya bisa melonjak hingga delapan ratus ribu rupiah per hari. Bahkan, pada periode mudik Lebaran lalu, ia berhasil mengumpulkan lima juta rupiah.
Bagi Annisa, menjadi kondektur bukan hanya sekadar pekerjaan, tetapi juga sebuah perjuangan untuk membuktikan bahwa perempuan mampu mandiri dan berdaya. Ia ingin menjadi contoh bagi anaknya dan perempuan lainnya bahwa hidup harus diperjuangkan, tanpa harus bergantung pada orang lain.
"Hidup itu harus diperjuangkan, tidak boleh putus asa. Berjuanglah semampumu, jangan bergantung sama seorang laki-laki," pesan Annisa dengan penuh semangat, menutup perbincangan di tengah riuhnya Terminal Purabaya.