Menghidupkan Kembali Desa: Jepang Gelontorkan Dana untuk Renovasi Rumah Kosong
Jepang tengah berjuang mengatasi masalah rumah-rumah kosong yang dikenal sebagai 'akiya'. Fenomena ini, di mana rumah-rumah ditinggalkan oleh pemiliknya, semakin mengkhawatirkan dan memicu berbagai upaya pemerintah untuk menghidupkan kembali daerah-daerah pedesaan yang ditinggalkan.
Masalah akiya menjadi perhatian serius karena beberapa faktor. Pertama, populasi Jepang mengalami penurunan dan penuaan, dengan banyak generasi muda memilih pindah ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan. Hal ini menyebabkan desa-desa dan kota-kota kecil kekurangan penduduk, meninggalkan banyak rumah kosong.
Kedua, banyak akiya yang berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Bertahun-tahun terbengkalai dapat menyebabkan kerusakan struktural, masalah jamur, dan bahkan menjadi tempat pembuangan sampah ilegal. Merenovasi rumah-rumah ini bisa menjadi tugas yang mahal dan rumit, membuat calon pembeli enggan.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Jepang telah mengambil berbagai langkah. Salah satunya adalah memberikan subsidi kepada warga yang ingin merenovasi akiya. Di Kota Uda, misalnya, pemerintah menawarkan hibah hingga 2 juta yen (sekitar Rp 236 juta) untuk membantu menutupi biaya renovasi.
Menurut Yoshiji Misaki, Pemimpin Komunitas Uda, hampir satu dari lima rumah di Uda dalam keadaan kosong. Misaki juga menambahkan populasi Uda telah berkurang setengahnya dalam 60 tahun terakhir.
Takahito Suzuki, kepala promosi kebijakan kota Uda, menambahkan pemerintah belum membuat regulasi tentang penggunaan kembali akiya. Beberapa kota seperti Uda membeli dan merenovasi akiya untuk menyediaan hunian bagi penduduk untuk tinggal sementara atau membuat bank akiya.
Inisiatif ini bertujuan untuk menarik orang kembali ke daerah pedesaan, menghidupkan kembali komunitas lokal, dan mencegah akiya menjadi sumber masalah sosial dan lingkungan. Dengan menyediakan bantuan keuangan untuk renovasi, pemerintah berharap dapat mengubah rumah-rumah kosong ini menjadi tempat tinggal yang layak huni dan menarik.
Selain program subsidi, beberapa kota juga telah mendirikan 'bank akiya'. Bank akiya ini mengumpulkan informasi tentang rumah-rumah kosong yang tersedia dan menghubungkannya dengan calon pembeli atau penyewa. Hal ini memudahkan orang untuk menemukan akiya yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan membantu mengurangi jumlah rumah kosong yang terbengkalai.
Meski begitu, proses renovasi akiya tidak selalu mudah. Seperti yang dialami oleh Coline Emilie Aguirre, seorang fotografer asal Prancis yang membeli akiya di Uda. Meskipun ia membeli rumah dengan harga yang relatif murah, ia harus mengeluarkan biaya yang signifikan untuk renovasi.
Aguirre membeli akiya seharga US$ 33.000 atau setara Rp 555,8 juta. Ia juga telah menginvestasikan hingga US$ 60.000 (Rp 1 miliar) dan berencana untuk menginvestasikan jumlah yang sama dalam tiga tahun ke depan.
Terlepas dari tantangan yang ada, upaya pemerintah Jepang untuk mengatasi masalah akiya menunjukkan komitmen mereka untuk menghidupkan kembali daerah pedesaan dan memastikan bahwa rumah-rumah kosong ini tidak menjadi beban bagi masyarakat. Dengan kombinasi subsidi renovasi, bank akiya, dan inisiatif lainnya, Jepang berharap dapat mengubah akiya menjadi aset berharga dan menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi daerah-daerah yang ditinggalkan.