Ketidakpuasan Putusan DKPP, Ketua KPU Garut Tempuh Jalur Hukum di PTUN
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Garut, Dian Hasanuddin, secara resmi melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai respons atas keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memberhentikannya dari jabatannya. Langkah ini diambil sebagai bentuk ketidaksepakatan terhadap putusan yang dinilai tidak adil dan berpotensi menimbulkan preseden buruk dalam penegakan etika penyelenggara pemilu.
Dian Hasanuddin mengungkapkan kekecewaannya terhadap standar penilaian etik yang diterapkan DKPP, yang menurutnya tidak konsisten dan cenderung subjektif. Ia menyoroti adanya perbedaan signifikan dalam putusan DKPP terhadap kasus-kasus serupa, yang menimbulkan pertanyaan mengenai objektivitas dan transparansi proses pengambilan keputusan. "Ada indikasi kuat disparitas putusan antara kasus yang satu dengan yang lain, padahal memiliki kemiripan dalam substansi pelanggaran," ujarnya.
Kasus ini bermula dari laporan dugaan pelanggaran etik yang diajukan oleh mantan Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kecamatan Garut Kota. Laporan tersebut menuding Dian Hasanuddin memerintahkan perubahan perolehan suara partai politik tertentu dalam Pemilu 2024. DKPP kemudian menggelar sidang etik dan memutuskan untuk memberhentikan Dian Hasanuddin dari jabatannya, sementara empat komisioner KPU Garut lainnya hanya mendapatkan sanksi berupa peringatan keras.
Berikut adalah nama komisioner KPU Garut yang mendapatkan sanksi peringatan keras:
- Dedi Rosyadi (Divisi Teknis)
- Yusuf Abdullah (Divisi Data dan Informasi)
- Asyim Burhani (Divisi Hukum dan Pengawasan)
- Rieke Rahayu (Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM)
Dian Hasanuddin berkeyakinan bahwa gugatan ke PTUN adalah langkah yang tepat untuk mencari keadilan dan menguji kembali validitas putusan DKPP. Ia berharap PTUN dapat memeriksa secara seksama seluruh fakta dan bukti yang ada, serta memberikan putusan yang objektif dan berkeadilan.
Gugatan ini menjadi sorotan publik dan menimbulkan perdebatan mengenai independensi dan profesionalitas DKPP dalam menegakkan etika penyelenggara pemilu. Publik berharap agar proses hukum di PTUN dapat berjalan transparan dan akuntabel, sehingga dapat memberikan kepastian hukum dan menjaga integritas penyelenggaraan pemilu di Indonesia.