Bidan Ina Nur Aida: Dedikasi Tanpa Batas, dari Ruang Bersalin ke Garda Depan Bencana

Ina Nur Aida, seorang bidan berusia 31 tahun, memaknai profesinya lebih dari sekadar pekerjaan. Baginya, menjadi bidan adalah panggilan jiwa yang menuntunnya melampaui batasan ruang dan waktu.

Sejak menggapai cita-citanya menjadi bidan pada tahun 2014, berkat dukungan penuh dari orang tuanya, Ina menyadari bahwa menolong kelahiran seorang bayi ke dunia adalah sebuah perjalanan spiritual yang mendalam, bukan sekadar prosedur medis rutin. "Mungkin banyak orang menganggap semua pekerjaan itu sama saja. Tapi bagi saya, menjadi bidan itu sangat istimewa," ungkap Ina.

Setiap tangisan pertama bayi yang ia sambut mengingatkannya akan perjuangan seorang ibu yang mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan. Hal inilah yang membakar semangat Ina untuk terus berkarya. Ia tidak ingin hanya terpaku di balik dinding klinik atau rumah sakit.

Titik balik dalam hidupnya terjadi pada tahun 2017, ketika ia bekerja di sebuah Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) di Grogol. Seorang bidan senior mengajak Ina untuk menjelajahi dunia yang berbeda: dunia kerelawanan. Tanpa ragu, Ina menerima tawaran tersebut karena merasa terpanggil untuk membantu sesama.

"Beliau melihat kinerja saya, interaksi saya dengan pasien, dan semangat sosialisasi saya yang tinggi. Karena itulah, beliau mengajak saya untuk bergabung dalam aksi-aksi kerelawanan," kenang Ina. Di sanalah Ina menyadari bahwa peran seorang bidan tidak hanya terbatas pada ruang bersalin.

Ketika bencana melanda, para korban tidak memiliki waktu untuk menunggu antrean di rumah sakit. Mereka membutuhkan pertolongan secepatnya. Ina memilih untuk menjadi garda terdepan, hadir di tengah kesedihan dan kehancuran.

"Karena itulah kami hadir sebagai relawan medis, siap mendatangi mereka di lokasi-lokasi bencana," jelasnya. Sejak tahun 2018, langkah Ina tidak hanya menuntun kelahiran, tetapi juga membawa harapan bagi mereka yang kehilangan.

Dari Papua, Lombok, Palu, Banten, Kalimantan, Bengkulu, Cianjur, hingga Semeru, Ina selalu hadir. Ia menyeka air mata, menenangkan jiwa yang terluka, dan merawat luka fisik. Pengalaman-pengalaman ini tidak pernah ia dapatkan selama masa perkuliahan. Dunia relawan telah membuat profesinya terasa lebih hidup dan bermakna.

Kini, setelah delapan tahun berlalu, Ina terus melangkah. Tidak ada yang tahu ke mana ia akan pergi esok hari. Namun satu hal yang pasti: selama masih ada orang yang membutuhkan pertolongan, Ina akan hadir, membawa harapan, bahkan di tengah reruntuhan.